semdinlihaber.com, 26 MEI 2025
Penulis: Riyan Wicaksono
Editor: Muhammad Kadafi
Tim Redaksi: Diplomasi Internasional Perusahaan Victory88
Pada tahun 1760-an, wilayah yang kini dikenal sebagai Indonesia merupakan bagian dari Hindia Belanda, di bawah kendali Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) atau Perusahaan Hindia Timur Belanda. Wilayah ini mencakup pusat-pusat perdagangan penting seperti Batavia (kini Jakarta), Maluku, dan sebagian Jawa, serta pelabuhan dan pos perdagangan di Sumatra, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Meskipun VOC menguasai jalur perdagangan strategis, kekuasaan mereka tidak merata, dan sebagian besar wilayah Indonesia tetap di bawah kendali kerajaan-kerajaan lokal seperti Mataram, Banten, dan Aceh. Periode ini ditandai oleh masalah sosial yang kompleks, yang berakar pada eksploitasi kolonial, ketimpangan ekonomi, konflik etnis, dan perlawanan terhadap dominasi asing. Artikel ini menyajikan analisis mendalam tentang masalah sosial di Indonesia pada tahun 1760-an, termasuk dampak kebijakan VOC, ketegangan antar-etnis, eksploitasi tenaga kerja, krisis lingkungan, dan perlawanan masyarakat lokal. Dengan mengacu pada sumber sejarah terpercaya seperti The Economic History of Indonesia (EH.net) dan karya M.C. Ricklefs, artikel ini bertujuan memberikan gambaran yang akurat dan komprehensif tentang dinamika sosial pada masa itu.
Konteks Sejarah: Indonesia di Bawah VOC pada 1760-an
Dominasi VOC dan Struktur Kolonial 
Pada abad ke-18, VOC adalah kekuatan ekonomi dan politik utama di wilayah Indonesia, mengendalikan perdagangan rempah-rempah, terutama cengkeh dan pala dari Maluku, serta lada, kopi, dan gula dari Jawa. Menurut Southeast Asia in the Age of Commerce karya Anthony Reid, VOC berfungsi sebagai perusahaan dagang sekaligus entitas quasi-pemerintahan, dengan Batavia sebagai pusat administrasi. Namun, kekuasaan VOC terbatas pada wilayah pesisir dan pusat perdagangan, sementara pedalaman Jawa dan wilayah lain tetap dikuasai oleh elite lokal yang bekerja sama atau bersaing dengan Belanda.
Pada tahun 1760-an, VOC menghadapi tantangan internal dan eksternal. Secara internal, korupsi di kalangan pejabat VOC, seperti yang dicatat oleh Lucas Nagtegaal dalam Riding the Dutch Tiger, melemahkan efisiensi perusahaan. Secara eksternal, persaingan dengan Inggris dan Prancis, serta perlawanan dari kerajaan lokal, mengurangi keuntungan VOC. Krisis ini memperburuk masalah sosial, karena VOC meningkatkan eksploitasi sumber daya dan tenaga kerja untuk mempertahankan keuntungan.
Struktur Sosial Kolonial 
Masyarakat di Hindia Belanda pada 1760-an terbagi dalam hierarki sosial yang kaku:
-
Elite Kolonial: Pejabat VOC, pedagang Belanda, dan keluarga mereka, yang tinggal di Batavia dan menikmati hak istimewa ekonomi dan politik.
-
Etnis Tionghoa: Komunitas pedagang yang berperan besar dalam perdagangan lokal dan antar-pulau, sering menjadi perantara antara VOC dan masyarakat lokal.
-
Elite Pribumi: Sultan, bupati, dan bangsawan lokal yang bekerja sama dengan VOC, seperti di Mataram dan Banten, tetapi sering kehilangan otonomi.
-
Rakyat Jelata: Petani, buruh, dan budak yang menanggung beban pajak, kerja paksa, dan eksploitasi ekonomi.
-
Budak: Berasal dari wilayah seperti Bali, Sulawesi, atau Afrika Timur, mereka digunakan sebagai tenaga kerja di perkebunan dan rumah tangga.
Hierarki ini menciptakan ketegangan sosial yang signifikan, yang menjadi akar banyak masalah sosial pada periode ini.
Masalah Sosial Utama di Indonesia pada 1760-an
1. Eksploitasi Ekonomi dan Pajak Berat 
Salah satu masalah sosial terbesar adalah eksploitasi ekonomi oleh VOC, yang membebani masyarakat pribumi dengan pajak dan kewajiban kerja paksa. Menurut The Economic History of Indonesia (EH.net), VOC menerapkan sistem contingenten, yaitu pajak dalam bentuk hasil bumi seperti beras, lada, dan kayu, yang harus diserahkan oleh petani. Selain itu, petani di Jawa diwajibkan menanam tanaman komersial seperti kopi dan tebu, yang mengurangi lahan untuk tanaman pangan.
Seperti yang disebutkan dalam posting di X oleh @yasirnurpras_, pajak pada masa kolonial sangat beragam dan memberatkan, termasuk:
-
Pajak tanah (landrente): Dikenakan pada petani berdasarkan luas lahan.
-
Pajak kepala: Pajak per individu di rumah tangga.
-
Pajak pasar dan jalan: Dikenakan saat berdagang atau melintas di infrastruktur VOC.
-
Kerja paksa (contingenten): Petani harus bekerja di perkebunan atau proyek infrastruktur VOC tanpa upah.
Pajak dan kerja paksa ini menyebabkan kemiskinan massal, kelaparan, dan migrasi petani ke wilayah yang tidak dikuasai VOC, seperti pedalaman Jawa atau Kalimantan. Ketimpangan ekonomi ini memperdalam kesenjangan antara elite kolonial dan rakyat jelata, memicu keresahan sosial.
2. Ketegangan Etnis dan Diskriminasi 
Komunitas Tionghoa, yang berperan sebagai pedagang dan pengumpul pajak untuk VOC, sering menjadi sasaran ketegangan sosial. Menurut M.C. Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia, Tionghoa di Batavia mengalami diskriminasi dari Belanda, tetapi juga dianggap sebagai “penutup” oleh pribumi karena peran mereka dalam menagih pajak. Ketegangan ini memuncak pada Pembantaian Tionghoa 1740, di mana sekitar 10.000 orang Tionghoa di Batavia dibunuh oleh pasukan VOC dan massa pribumi setelah pemberontakan akibat rumor deportasi.
Pada 1760-an, meskipun tidak ada pembantaian sebesar 1740, ketegangan etnis tetap ada. Komunitas Tionghoa di Jawa terus menghadapi kecurigaan dari pribumi dan VOC, terutama karena kesuksesan ekonomi mereka. Selain itu, konflik antara kelompok pribumi, seperti Jawa dan Sunda di Jawa Barat, juga muncul akibat persaingan atas sumber daya dan pengaruh politik, sebagaimana disebutkan dalam Southeast Asia in the Age of Commerce.
3. Perbudakan dan Eksploitasi Tenaga Kerja 
Perbudakan adalah masalah sosial yang signifikan pada 1760-an. VOC mengimpor budak dari Bali, Sulawesi, dan Afrika Timur untuk bekerja di perkebunan gula, pelabuhan, dan rumah tangga di Batavia. Menurut Anthony Reid, budak sering diperlakukan dengan kejam, dengan tingkat kematian tinggi akibat kondisi kerja yang buruk dan penyakit seperti malaria. Di Maluku, petani cengkeh lokal juga menghadapi eksploitasi melalui sistem hongi-tochten, yaitu razia VOC untuk memastikan monopoli rempah-rempah, yang sering melibatkan penghancuran desa dan pemaksaan kerja.
Perbudakan dan kerja paksa tidak hanya merendahkan martabat manusia, tetapi juga memicu perlawanan sporadis. Misalnya, pelarian budak dari Batavia ke wilayah Banten atau pedalaman Jawa menjadi masalah umum bagi VOC, yang merespons dengan hukuman keras seperti eksekusi publik.
4. Krisis Lingkungan dan Kesehatan 
Eksploitasi sumber daya alam oleh VOC, seperti penebangan hutan untuk kayu dan pembukaan lahan perkebunan, menyebabkan krisis lingkungan di Jawa dan Maluku. Menurut The Economic History of Indonesia, deforestasi di Jawa mengurangi kesuburan tanah dan menyebabkan banjir, yang merusak lahan pertanian petani. Selain itu, Batavia dikenal sebagai “kuburan orang Eropa” karena wabah malaria dan disentri, yang juga memengaruhi pribumi dan budak yang tinggal di daerah rawa sekitar kota.
Krisis kesehatan ini memperburuk kondisi sosial, karena masyarakat lokal tidak memiliki akses ke perawatan medis yang memadai. Epidemi seperti cacar juga menyebar di wilayah padat penduduk seperti Jawa, menyebabkan kematian massal dan destabilisasi komunitas.
5. Perlawanan dan Konflik Sosial 
Perlawanan terhadap VOC adalah cerminan dari ketidakpuasan sosial yang meluas. Pada 1760-an, meskipun tidak ada pemberontakan sebesar Perang Jawa (1741–1743), ketegangan terus berlanjut. Menurut Lucas Nagtegaal, bupati lokal di Jawa sering terjebak antara memenuhi tuntutan VOC dan menjaga loyalitas rakyat mereka, yang memicu konflik internal. Misalnya, di Banten, pemberontakan kecil oleh petani dan budak terjadi akibat pajak yang memberatkan.
Di Maluku, masyarakat lokal seperti di Ambon dan Ternate melawan monopoli rempah-rempah VOC melalui perdagangan gelap atau serangan terhadap pos-pos Belanda. Perlawanan ini tidak hanya menunjukkan ketidakpuasan ekonomi, tetapi juga keinginan untuk mempertahankan identitas budaya dan otonomi lokal.
6. Ketimpangan Gender dan Marginalisasi Perempuan
Meskipun data spesifik tentang perempuan pada 1760-an terbatas, struktur sosial patriarkal pada masa itu memperburuk marginalisasi perempuan. Perempuan pribumi sering bekerja sebagai buruh perkebunan atau pelayan rumah tangga, dengan upah rendah atau tanpa upah. Perempuan budak menghadapi risiko pelecehan seksual oleh tuan Belanda atau Tionghoa, seperti yang dicatat dalam arsip VOC. Di kalangan elite pribumi, perempuan bangsawan sering digunakan sebagai alat diplomasi melalui pernikahan politik, tetapi memiliki sedikit otonomi.
Ketimpangan gender ini memperkuat hierarki sosial kolonial, di mana perempuan, terutama dari kelas bawah, menjadi kelompok yang paling rentan terhadap eksploitasi.
Dampak Masalah Sosial
1. Destabilisasi Komunitas Lokal
Eksploitasi ekonomi dan kerja paksa mengganggu struktur komunitas tradisional. Di Jawa, petani yang kehilangan lahan akibat pajak atau perkebunan VOC sering bermigrasi, melemahkan ikatan desa. Di Maluku, razia VOC menghancurkan desa-desa, menyebabkan pengungsian dan trauma sosial.
2. Ketegangan Antar-Kelompok
Ketegangan etnis, terutama antara Tionghoa, pribumi, dan Belanda, menciptakan masyarakat yang terfragmentasi. Konflik ini diperburuk oleh kebijakan VOC yang memisahkan kelompok etnis di Batavia, seperti kampung Tionghoa dan kampung pribumi, untuk mencegah aliansi melawan kolonial.
3. Munculnya Perlawanan
Masalah sosial memicu perlawanan, baik dalam bentuk pemberontakan bersenjata maupun pelarian massal. Meskipun perlawanan ini sering gagal karena kurangnya koordinasi, mereka menunjukkan semangat untuk melawan penindasan kolonial.
4. Krisis Kemanusiaan
Krisis lingkungan, kesehatan, dan perbudakan menyebabkan penderitaan kemanusiaan yang luas. Tingkat kematian yang tinggi, terutama di kalangan budak dan petani, mengurangi populasi produktif dan memperburuk kemiskinan.
Respons terhadap Masalah Sosial
1. Respons VOC
VOC merespons masalah sosial dengan pendekatan represif, seperti meningkatkan pengawasan militer dan hukuman bagi pemberontak. Namun, korupsi internal dan kelemahan finansial VOC membatasi kemampuan mereka untuk mengatasi akar masalah, seperti kemiskinan dan ketimpangan.
2. Respons Masyarakat Lokal
Masyarakat lokal merespons dengan berbagai cara:
-
Perlawanan bersenjata: Seperti pemberontakan kecil di Banten dan Maluku.
-
Pelarian: Petani dan budak melarikan diri ke wilayah di luar kendali VOC.
-
Adaptasi budaya: Beberapa komunitas, seperti di Jawa, mengintegrasikan unsur-unsur Islam untuk memperkuat identitas dan solidaritas melawan kolonial.
3. Peran Elite Lokal
Bupati dan bangsawan lokal berperan ganda: beberapa bekerja sama dengan VOC untuk mempertahankan kekuasaan, sementara yang lain diam-diam mendukung perlawanan rakyat. Misalnya, elite Mataram di Jawa sering menegosiasikan keringanan pajak untuk mencegah pemberontakan.
Tantangan dalam Memahami Masalah Sosial 1760-an
1. Keterbatasan Sumber
Sumber sejarah untuk 1760-an sebagian besar berasal dari arsip VOC, yang cenderung bias terhadap perspektif kolonial. Menurut The Economic History of Indonesia, catatan pribumi seperti babad Jawa atau hikayat lokal jarang menyebutkan detail sosial spesifik untuk dekade ini, sehingga analisis bergantung pada interpolasi dari tren abad ke-18.
2. Variasi Regional
Indonesia pada 1760-an sangat beragam, dengan lebih dari 300 kelompok etnis dan ratusan bahasa. Masalah sosial di Jawa, yang padat penduduk dan terkendali VOC, berbeda dengan Maluku atau Sumatra, yang lebih otonom. Hal ini menyulitkan generalisasi.
3. Kurangnya Data Kuantitatif
Tidak ada data demografi atau ekonomi yang lengkap untuk 1760-an. Estimasi populasi, seperti 2–3 juta jiwa di Jawa, bersifat spekulatif, dan catatan tentang kematian akibat wabah atau kelaparan tidak sistematis.
Relevansi untuk Masa Kini
Masalah sosial pada 1760-an, seperti ketimpangan ekonomi, konflik etnis, dan eksploitasi sumber daya, memiliki paralel dengan isu modern di Indonesia, seperti ketimpangan regional dan dampak lingkungan dari ekstraksi sumber daya. Menurut laporan New Naratif (2023), isu seperti korupsi dan diskriminasi terhadap minoritas tetap relevan, menunjukkan bahwa warisan kolonial masih memengaruhi dinamika sosial. Memahami masalah sosial pada 1760-an memberikan wawasan tentang bagaimana kolonialisme membentuk struktur sosial yang terus memengaruhi Indonesia hingga kini.
Kesimpulan
Pada tahun 1760-an, Indonesia di bawah VOC menghadapi masalah sosial yang kompleks, yang berakar pada eksploitasi kolonial, ketimpangan ekonomi, dan ketegangan etnis. Pajak berat, kerja paksa, dan perbudakan menciptakan kemiskinan dan penderitaan massal, sementara krisis lingkungan dan kesehatan memperburuk kondisi masyarakat. Ketegangan antara Tionghoa, pribumi, dan Belanda, serta marginalisasi perempuan, memperdalam fragmentasi sosial. Meskipun perlawanan lokal muncul sebagai respons, kekuatan militer VOC dan kelemahan koordinasi rakyat membatasi keberhasilannya. Dengan mengacu pada sumber seperti A History of Modern Indonesia karya M.C. Ricklefs dan Southeast Asia in the Age of Commerce karya Anthony Reid, artikel ini menyoroti bagaimana masalah sosial pada 1760-an mencerminkan dinamika kekuasaan yang lebih luas di era kolonial. Seperti yang dikatakan oleh Anthony Reid, “Kekayaan perdagangan Asia Tenggara sering kali dibangun di atas penderitaan rakyatnya.” Memahami periode ini tidak hanya memperkaya pengetahuan sejarah kita tentang Indonesia, tetapi juga mengajarkan kita untuk mengenali akar-akar ketidakadilan sosial yang masih relevan hingga kini.
BACA JUGA: Dampak Positif dan Negatif Media Sosial di Era 2025: Peluang dan Tantangan dalam Kehidupan Digital
BACA JUGA: Tim Berners-Lee: Pencetus World Wide Web dan Karya Revolusioner yang Mengubah Dunia
BACA JUGA: Pengertian dan Perbedaan Paham Komunisme Menurut Marxisme: Analisis Mendalam