semdinlihaber.com, 11 MEI 2025
Penulis: Riyan Wicaksono
Editor: Muhammad Kadafi
Tim Redaksi: Diplomasi Internasional Perusahaan Victory88
Pada akhir abad ke-19, Indonesia—yang saat itu dikenal sebagai Hindia Belanda—berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda selama lebih dari dua abad. Periode 1890-an adalah masa transisi yang ditandai oleh perkembangan ekonomi, perubahan sosial, dan meningkatnya kesadaran akan ketidakadilan kolonial. Namun, era ini juga diwarnai oleh berbagai masalah sosial yang kompleks, mulai dari kemiskinan, eksploitasi tenaga kerja, ketimpangan sosial, hingga dampak modernisasi yang tidak merata. Masalah-masalah ini mencerminkan dinamika antara sistem kolonial, struktur masyarakat tradisional, dan pengaruh global yang mulai masuk ke wilayah kepulauan ini. Artikel ini menyajikan analisis mendalam tentang masalah sosial di Indonesia pada tahun 1890-an, dengan fokus pada konteks sejarah, isu utama, penyebab, dampak, dan respons masyarakat, disampaikan secara profesional, rinci, dan jelas hingga konteks Mei 2025.
1. Konteks Sejarah Indonesia pada 1890-an 
Kekuasaan Kolonial Belanda
Pada 1890-an, Hindia Belanda dikuasai oleh Belanda melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) hingga 1799, kemudian diambil alih oleh pemerintah Belanda. Wilayah ini mencakup sebagian besar Nusantara, dengan pusat administrasi di Batavia (sekarang Jakarta). Kolonialisme Belanda berfokus pada eksploitasi sumber daya alam, seperti rempah-rempah, kopi, gula, dan teh, untuk kepentingan ekonomi Eropa. Sistem Cultuurstelsel (1830–1870), yang mewajibkan petani menanam tanaman ekspor, telah digantikan oleh sistem liberal pada akhir abad ke-19, tetapi dampaknya masih terasa.
Perkembangan Ekonomi dan Sosial
-
Ekonomi Perkebunan: Pada 1890-an, perkebunan swasta (kopi, teh, gula, tembakau) berkembang pesat, terutama di Jawa dan Sumatra, didukung oleh investasi Belanda dan Inggris. Perkebunan ini mengandalkan tenaga kerja lokal yang sering dieksploitasi.
-
Urbanisasi Awal: Kota-kota seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya mulai berkembang sebagai pusat perdagangan dan administrasi, menarik migran dari pedesaan dan menciptakan kelas sosial baru.
-
Pengaruh Global: Modernisasi, seperti masuknya teknologi uap, telegraf, dan kereta api (pertama kali di Jawa pada 1860-an), mulai mengubah lanskap sosial-ekonomi, tetapi manfaatnya tidak merata.
-
Pendidikan dan Agama: Pendidikan formal terbatas pada elit pribumi dan keturunan Eropa, sementara Islam dan agama lokal tetap menjadi pilar identitas masyarakat, sering kali sebagai bentuk resistensi terhadap kolonialisme.
Struktur Sosial
Masyarakat Hindia Belanda pada 1890-an terbagi menjadi beberapa lapisan:
-
Elit Kolonial: Pejabat Belanda, pedagang, dan pemilik perkebunan yang mendominasi ekonomi dan politik.
-
Pribumi Elit: Priyayi (bangsawan Jawa), bupati, dan tokoh lokal yang bekerja untuk Belanda, menikmati status sosial tetapi terbatas dalam kekuasaan.
-
Rakyat Jelata: Petani, buruh perkebunan, dan pekerja informal yang menghadapi kemiskinan dan eksploitasi.
-
Komunitas Tionghoa dan Arab: Pedagang dan perantara yang memiliki peran ekonomi penting tetapi sering menghadapi diskriminasi.
-
Budak dan Pekerja Kontrak: Meskipun perbudakan resmi dihapus pada 1860, praktik kerja paksa dan kontrak buruh (seperti koeli di Sumatra) masih umum.
2. Masalah Sosial Utama di Indonesia pada 1890-an 
Masalah sosial pada 1890-an di Hindia Belanda sangat dipengaruhi oleh sistem kolonial, struktur masyarakat, dan perubahan ekonomi. Berikut adalah isu-isu utama:
1. Kemiskinan dan Ketimpangan Ekonomi
-
Penyebab:
-
Sistem Pajak Kolonial: Pajak tanah (landrente) dan bea ekspor membebani petani, terutama di Jawa, yang sering kali tidak memiliki cukup hasil panen untuk memenuhi kebutuhan dasar.
-
Eksploitasi Perkebunan: Buruh perkebunan, terutama di Sumatra dan Jawa, menerima upah rendah dan bekerja dalam kondisi berat, sementara keuntungan mengalir ke pemilik Belanda atau Inggris.
-
Krisis Agraris: Penurunan hasil panen akibat erosi tanah, monopoli tanaman ekspor, dan kurangnya diversifikasi pertanian menyebabkan kelaparan di beberapa daerah, seperti di Banten pada 1890-an.
-
-
Dampak:
-
Kemiskinan meluas di kalangan petani dan buruh, dengan banyak keluarga terpaksa menjual tanah atau anak mereka sebagai pekerja kontrak.
-
Ketimpangan sosial meningkat antara elit pribumi yang berkolaborasi dengan Belanda dan rakyat jelata yang hidup dalam kemiskinan.
-
Urbanisasi yang tidak terencana menyebabkan kemunculan kawasan kumuh di Batavia dan Surabaya, dengan sanitasi buruk dan penyakit seperti kolera.
-
Contoh: Laporan kolonial pada 1890-an mencatat bahwa petani di Jawa Barat sering kali hanya memiliki beras untuk beberapa bulan dalam setahun, memaksa mereka mengonsumsi akar-akaran atau berhutang kepada lintah darat.
2. Eksploitasi Tenaga Kerja
-
Penyebab:
-
Sistem Koeli: Di Sumatra Timur, ribuan pekerja kontrak (koeli) dari Jawa dan Tiongkok bekerja di perkebunan tembakau dan karet dalam kondisi mirip perbudakan. Kontrak sering kali tidak jelas, dan pekerja tidak bisa meninggalkan perkebunan.
-
Kerja Paksa: Meskipun Cultuurstelsel resmi berakhir, praktik kerja paksa (herendiensten) masih ada, seperti wajib membangun jalan atau irigasi untuk kepentingan kolonial.
-
Diskriminasi Upah: Buruh pribumi dibayar jauh lebih rendah dibandingkan pekerja Eropa atau Tionghoa, menciptakan ketidakadilan ekonomi.
-
-
Dampak:
-
Pekerja menghadapi kondisi kerja yang tidak manusiawi, seperti jam kerja panjang, kekerasan fisik dari mandor, dan kurangnya akses ke perawatan kesehatan.
-
Banyak pekerja koeli meninggal karena penyakit seperti malaria atau kekurangan gizi, dengan angka kematian di perkebunan Sumatra mencapai 20% pada 1890-an.
-
Eksploitasi ini memicu resistensi, seperti pelarian pekerja atau pemberontakan kecil, meskipun sering kali ditumpas oleh militer kolonial.
-
Contoh: Buku Koelie Budget (1890) karya J. van den Brand mengungkap kondisi buruk pekerja kontrak di Sumatra, memicu debat di Belanda tentang reformasi tenaga kerja.
3. Ketimpangan Sosial dan Diskriminasi
-
Penyebab:
-
Hierarki Kolonial: Sistem kolonial menempatkan Belanda di puncak hierarki, diikuti oleh keturunan Eropa, Tionghoa, dan Arab, sementara pribumi berada di posisi terbawah.
-
Privilese Elit Pribumi: Priyayi dan bupati yang bekerja untuk Belanda menikmati hak istimewa, seperti tanah dan pendapatan, tetapi sering dianggap sebagai pengkhianat oleh rakyat.
-
Diskriminasi Komunitas Tionghoa: Tionghoa, yang berperan sebagai pedagang dan perantara, menghadapi pajak khusus (pacht) dan pembatasan tempat tinggal (wijkenstelsel), memicu ketegangan sosial.
-
-
Dampak:
-
Ketimpangan sosial menciptakan ketegangan antara kelompok etnis, seperti konflik antara pribumi dan Tionghoa di kota-kota pelabuhan.
-
Diskriminasi memperdalam rasa ketidakadilan, terutama di kalangan pribumi terpelajar yang mulai mempertanyakan legitimasi kolonial.
-
Struktur sosial yang kaku menghambat mobilitas sosial, dengan hanya sedikit pribumi yang bisa mengakses pendidikan atau jabatan tinggi.
-
Contoh: Pada 1890-an, komunitas Tionghoa di Batavia diharuskan tinggal di kawasan Pecinan dan membayar pajak tambahan, yang memicu protes kecil pada 1892.
4. Keterbatasan Akses Pendidikan
-
Penyebab:
-
Kebijakan Kolonial: Pendidikan formal terbatas pada sekolah Belanda (Hollandsche Inlandsche School) untuk keturunan Eropa dan elit pribumi, sementara rakyat jelata hanya mengakses pendidikan agama di pesantren atau madrasah.
-
Biaya dan Akses: Sekolah kolonial memerlukan biaya yang tidak terjangkau bagi petani, dan lokasinya terbatas di kota-kota besar.
-
Bahasa Pengantar: Penggunaan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar menghambat akses pribumi, yang mayoritas hanya berbicara bahasa lokal.
-
-
Dampak:
-
Tingkat melek huruf sangat rendah, diperkirakan kurang dari 10% di Jawa pada 1890-an, memperkuat kesenjangan sosial.
-
Kurangnya pendidikan formal membatasi kesadaran politik dan mobilitas sosial, membuat rakyat rentan terhadap eksploitasi.
-
Pendidikan agama menjadi saluran utama pengetahuan, sering kali memicu sentimen anti-kolonial di kalangan ulama.
-
Contoh: Hanya sekitar 1.000 pribumi yang mengenyam pendidikan di sekolah Belanda pada 1890-an, dibandingkan dengan puluhan ribu di pesantren di Jawa.
5. Dampak Modernisasi yang Tidak Merata
-
Penyebab:
-
Infrastruktur Kolonial: Pembangunan kereta api, pelabuhan, dan telegraf hanya menguntungkan kepentingan kolonial, seperti transportasi hasil perkebunan, bukan kesejahteraan rakyat.
-
Urbanisasi: Migrasi ke kota menciptakan kelas pekerja urban yang miskin, tanpa akses ke perumahan atau layanan dasar.
-
Pengaruh Barat: Gaya hidup Eropa, seperti mode dan konsumsi alkohol, mulai memengaruhi elit pribumi, menciptakan jurang budaya dengan rakyat jelata.
-
-
Dampak:
-
Modernisasi memperlebar kesenjangan antara kota dan desa, dengan pedesaan tetap terbelakang dalam hal teknologi dan ekonomi.
-
Perubahan budaya memicu ketegangan, seperti penolakan terhadap gaya hidup Barat oleh komunitas agama.
-
Buruh migran di kota sering hidup dalam kondisi kumuh, meningkatkan risiko penyakit dan kejahatan.
-
Contoh: Pembangunan jalur kereta api Semarang-Surakarta pada 1870-an memudahkan ekspor gula, tetapi petani lokal tidak mendapat manfaat langsung dan sering kehilangan tanah untuk proyek infrastruktur.
6. Resistensi dan Ketegangan Agama
-
Penyebab:
-
Kebijakan Anti-Islam: Belanda sering mencurigai komunitas Muslim sebagai sumber pemberontakan, membatasi kegiatan keagamaan seperti haji dan pendidikan Islam.
-
Konflik Budaya: Pengaruh Kristen dari misionaris Belanda di beberapa daerah, seperti Minahasa dan Maluku, memicu ketegangan dengan komunitas Muslim dan Hindu.
-
Ketidakadilan Sosial: Ulama dan tokoh agama sering memimpin protes terhadap pajak dan kerja paksa, seperti yang terjadi di Banten pada 1888.
-
-
Dampak:
-
Pemberontakan kecil, seperti Pemberontakan Petani Banten (1888), dipicu oleh ketidakpuasan sosial dan agama, meskipun sering ditumpas dengan kekerasan.
-
Islam menjadi simbol resistensi, memperkuat identitas anti-kolonial di kalangan pribumi.
-
Ketegangan agama memperumit hubungan antara kelompok etnis dan agama, seperti antara Muslim dan Kristen di Maluku.
-
Contoh: Pada 1890-an, pesantren di Jawa Barat menjadi pusat penentangan terhadap pajak kolonial, dengan ulama seperti Kiai Hasan Maulani memobilisasi petani.
3. Penyebab Masalah Sosial 
Masalah sosial pada 1890-an di Hindia Belanda memiliki akar yang kompleks:
-
Sistem Kolonial: Fokus Belanda pada eksploitasi ekonomi mengabaikan kesejahteraan pribumi, menciptakan kemiskinan dan ketimpangan.
-
Struktur Feudal: Sistem priyayi dan bupati memperkuat hierarki sosial, dengan elit lokal sering kali memihak kepentingan kolonial.
-
Perubahan Ekonomi: Transisi dari Cultuurstelsel ke ekonomi liberal meningkatkan eksploitasi tenaga kerja di perkebunan swasta.
-
Keterbatasan Pendidikan: Kurangnya akses pendidikan formal menghambat kesadaran sosial dan politik, mempertahankan status quo.
-
Pengaruh Global: Modernisasi yang tidak merata dan masuknya budaya Barat menciptakan ketegangan budaya dan sosial.
4. Dampak Masalah Sosial 
Dampak pada Masyarakat
-
Kemiskinan Struktural: Mayoritas pribumi hidup dalam kemiskinan, dengan akses terbatas ke sumber daya dan peluang.
-
Kesenjangan Sosial: Jurang antara elit kolonial, pribumi elit, dan rakyat jelata semakin lebar, menciptakan ketegangan sosial.
-
Kesehatan dan Sanitasi: Kondisi kerja yang buruk dan sanitasi kota yang buruk meningkatkan angka kematian akibat penyakit seperti kolera dan malaria.
-
Keresahan Sosial: Ketidakadilan memicu resistensi, mulai dari pemberontakan kecil hingga pelarian pekerja koeli.
Dampak pada Kolonialisme
-
Kritik di Belanda: Laporan tentang eksploitasi, seperti Koelie Budget, memicu debat di Belanda tentang “Kebijakan Etis” (Ethische Politiek), yang mulai diadopsi pada 1901 untuk memperbaiki kesejahteraan pribumi.
-
Resistensi Pribumi: Pemberontakan dan protes agama memperlemah kendali kolonial di beberapa daerah, memaksa Belanda meningkatkan kehadiran militer.
-
Kesadaran Nasional: Meskipun masih awal, ketidakpuasan sosial mulai membentuk kesadaran anti-kolonial di kalangan pribumi terpelajar, yang akan berkembang menjadi gerakan nasionalisme pada abad ke-20.
5. Respons Masyarakat dan Kolonial 
Respons Masyarakat
-
Pemberontakan: Pemberontakan kecil, seperti di Banten (1888) dan Cilegon (1888), menunjukkan penolakan terhadap pajak dan eksploitasi kolonial, sering kali dipimpin oleh tokoh agama.
-
Pelarian dan Sabotase: Pekerja koeli di Sumatra sering melarikan diri atau melakukan sabotase kecil, seperti merusak alat perkebunan, sebagai bentuk resistensi pasif.
-
Pendidikan Agama: Pesantren dan madrasah menjadi pusat pembelajaran dan resistensi, melestarikan identitas budaya dan agama.
-
Komunitas Etnis: Komunitas Tionghoa dan Arab membentuk organisasi perdagangan untuk melindungi kepentingan mereka, meskipun tetap menghadapi diskriminasi.
Respons Kolonial
-
Represi Militer: Belanda menggunakan kekerasan untuk menumpas pemberontakan, seperti dalam kasus Pemberontakan Cilegon, yang menewaskan ratusan pemberontak.
-
Reformasi Terbatas: Tekanan dari Belanda mendorong reformasi kecil, seperti perbaikan kontrak koeli dan pengurangan pajak di beberapa daerah, tetapi implementasinya lambat.
-
Pendidikan Elit: Belanda mulai memperluas pendidikan untuk pribumi elit, seperti melalui Hoofdenscholen, untuk menciptakan administrator lokal yang loyal.
-
Pengawasan Agama: Kegiatan keagamaan, terutama haji, diawasi ketat untuk mencegah pemberontakan, meskipun hal ini justru meningkatkan sentimen anti-kolonial.
6. Prospek dan Warisan hingga Mei 2025 
Masalah sosial pada 1890-an di Hindia Belanda memiliki dampak jangka panjang yang masih relevan hingga Mei 2025:
-
Warisan Kolonial: Ketimpangan sosial dan eksploitasi ekonomi yang terjadi pada 1890-an menjadi cikal bakal gerakan nasionalisme Indonesia, yang berkembang melalui organisasi seperti Budi Utomo (1908) dan Sarekat Islam (1912).
-
Kebijakan Etis: Kritik terhadap kondisi sosial pada 1890-an mendorong Belanda mengadopsi Kebijakan Etis pada 1901, yang berfokus pada pendidikan, irigasi, dan emigrasi, meskipun hasilnya terbatas.
-
Kesadaran Sosial: Kesadaran akan ketidakadilan sosial pada 1890-an membantu membentuk identitas nasional Indonesia, yang memuncak pada kemerdekaan 1945.
-
Relevansi Kontemporer: Masalah seperti kemiskinan, ketimpangan sosial, dan eksploitasi tenaga kerja masih menjadi tantangan di Indonesia modern, meskipun dalam bentuk yang berbeda, seperti kesenjangan ekonomi antara kota dan desa atau kondisi buruh migran.
Hingga Mei 2025, studi tentang masalah sosial pada 1890-an tetap relevan untuk memahami akar ketimpangan sosial dan ekonomi di Indonesia. Penelitian sejarah, seperti yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada dan arsip kolonial di Leiden, terus mengungkap detail baru tentang periode ini, memberikan wawasan untuk mengatasi isu sosial kontemporer.
7. Kesimpulan
Pada 1890-an, Indonesia sebagai Hindia Belanda menghadapi berbagai masalah sosial yang kompleks, termasuk kemiskinan, eksploitasi tenaga kerja, ketimpangan sosial, keterbatasan pendidikan, modernisasi yang tidak merata, dan ketegangan agama. Masalah-masalah ini berakar pada sistem kolonial Belanda, struktur masyarakat feudal, dan perubahan ekonomi global. Dampaknya meliputi penderitaan rakyat jelata, meningkatnya ketegangan sosial, dan munculnya resistensi anti-kolonial, terutama melalui saluran agama. Respons masyarakat, seperti pemberontakan dan pendidikan agama, serta reformasi terbatas dari Belanda, mencerminkan dinamika kompleks antara penindasan dan perlawanan. Warisan periode ini, termasuk kesadaran anti-kolonial dan Kebijakan Etis, membentuk perjalanan Indonesia menuju kemerdekaan dan tetap relevan untuk memahami tantangan sosial hingga Mei 2025. Untuk informasi lebih lanjut, sumber seperti The Social World of Batavia karya Jean Gelman Taylor, arsip kolonial Belanda, dan jurnal sejarah seperti Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde dapat menjadi referensi berharga.
BACA JUGA: Masalah Sosial di Indonesia pada Tahun 1900-an: Dampak Kolonialisme dan Kebangkitan Kesadaran Sosial
BACA JUGA: Perkembangan Teknologi Militer Portugal: Dari Era Penjelajahan hingga Abad Modern
BACA JUGA: Perjalanan Karir NewJeans: Dari Debut Sensasional hingga Bintang Dunia