semdinlihaber.com, 21 MEI 2025
Penulis: Riyan Wicaksono
Editor: Muhammad Kadafi
Tim Redaksi: Diplomasi Internasional Perusahaan Victory88
Pada tahun 1810-an, wilayah yang kini dikenal sebagai Indonesia masih disebut Hindia Belanda, berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda hingga 1811, kemudian beralih ke Inggris hingga 1816. Periode ini ditandai oleh transformasi politik, ekonomi, dan sosial yang dipicu oleh kebijakan kolonial, terutama di bawah Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808–1811) dan Thomas Stamford Raffles (1811–1816). Masyarakat pribumi menghadapi berbagai masalah sosial, seperti kemiskinan ekstrem, kerja paksa, kesenjangan sosial, dan hilangnya otonomi budaya. Artikel ini mengulas secara mendalam masalah sosial yang dihadapi masyarakat Indonesia pada dekade ini, faktor penyebabnya, dampaknya, serta respons masyarakat terhadap penindasan kolonial.
Konteks Sejarah: Transisi Kekuasaan Kolonial
Pada awal 1810-an, Hindia Belanda berada di bawah kendali Republik Bataaf, sekutu Prancis di bawah Napoleon. Gubernur Jenderal Daendels ditunjuk untuk memperkuat pertahanan kolonial dan meningkatkan efisiensi ekonomi demi kepentingan Belanda (Kompas.com, 1 Februari 2020). Kebijakannya, seperti pembangunan Jalan Raya Pos (Anyer-Panarukan), memperburuk kondisi sosial masyarakat pribumi. Pada 1811, Inggris mengambil alih Jawa setelah mengalahkan Belanda dalam Perjanjian Kapitulasi Tuntang (Universitas Islam An Nur Lampung, 3 September 2024). Raffles, sebagai Letnan Gubernur, menerapkan reformasi liberal, seperti pajak tanah, tetapi tetap mengeksploitasi sumber daya lokal (Indonesia Investments, 10 Juni 2020).
Periode ini ditandai oleh eksploitasi ekonomi yang intens, monopoli perdagangan oleh VOC (hingga bubarnya pada 1799) dan penerusnya, serta perubahan sistem pemerintahan yang mengikis kekuasaan tradisional pribumi. Masyarakat Indonesia, yang terdiri dari berbagai kerajaan dan komunitas lokal, menghadapi tekanan berat dari sistem kolonial yang mengutamakan kepentingan Eropa.
Masalah Sosial Utama pada 1810-an 
1. Kemiskinan Ekstrem dan Eksploitasi Ekonomi
Kemiskinan menjadi masalah sosial utama akibat kebijakan ekonomi kolonial. Pribumi dipaksa menyerahkan hasil bumi melalui sistem contingenten (pajak dalam bentuk barang) dan kerja paksa (rodi) untuk proyek infrastruktur (Kompas.com, 1 Februari 2020). Postingan di X oleh @yasirnurpras_ (19 Mei 2025) menyebutkan berbagai pajak absurd yang diterapkan, seperti pajak tanah (landrente), pajak kepala, pajak ternak, pajak pasar, dan pajak gendong, yang membebani rakyat (post:0). Pajak-pajak ini sering kali melebihi kemampuan ekonomi masyarakat, menyebabkan kelaparan dan kemelaratan.
-
Faktor Penyebab: Monopoli perdagangan VOC dan kebijakan contingenten menguras sumber daya lokal. Petani dipaksa menanam tanaman ekspor seperti kopi dan tebu, mengorbankan tanaman pangan, yang memperparah kekurangan pangan (Indonesia Investments, 10 Juni 2020).
-
Dampak: Banyak keluarga pribumi kehilangan lahan dan jatuh ke dalam kemiskinan. Sistem landrente Raffles, yang mewajibkan petani membayar pajak setara dua per lima panen tahunan, sering kali tidak realistis karena ketidakpastian hasil panen (Universitas Islam An Nur Lampung, 3 September 2024).
-
Contoh Kasus: Di Banten dan Cirebon, petani menghadapi tekanan berat dari bupati lokal yang bekerja untuk Belanda, yang memaksa penyerahan hasil bumi tanpa kompensasi yang adil (Kompas.com, 1 Februari 2020).
2. Kerja Paksa (Rodi) dan Penindasan 
Sistem kerja paksa adalah salah satu kebijakan paling kejam pada masa Daendels. Untuk membangun Jalan Raya Pos sepanjang 1.000 km dari Anyer hingga Panarukan, ribuan pribumi direkrut tanpa upah yang memadai (Kompas.com, 1 Februari 2020). Pekerja rodi bekerja dalam kondisi berat, sering kali tanpa makanan cukup, menyebabkan kematian massal akibat kelelahan, penyakit, dan kelaparan.
-
Faktor Penyebab: Daendels membutuhkan infrastruktur cepat untuk pertahanan melawan Inggris dan efisiensi administrasi. Pribumi dipilih karena dianggap sebagai tenaga kerja murah (Indonesia Investments, 10 Juni 2020).
-
Dampak: Kerja rodi memisahkan petani dari lahan mereka, mengganggu produksi pangan dan memperburuk kemiskinan. Diperkirakan ribuan pekerja meninggal selama pembangunan Jalan Raya Pos (Kompas.com, 1 Februari 2020). Selain itu, kerja paksa menciptakan trauma sosial dan ketidakpercayaan terhadap otoritas kolonial.
-
Contoh Kasus: Di Jawa Tengah, banyak desa kehilangan tenaga kerja laki-laki karena kerja rodi, meninggalkan perempuan dan anak-anak dalam kondisi rentan (Kompas.com, 1 Februari 2020).
3. Kesenjangan Sosial dan Hierarki Kolonial 
Kolonialisme menciptakan hierarki sosial yang menempatkan orang Eropa di puncak, diikuti oleh keturunan Asia (seperti Tionghoa), sementara pribumi berada di posisi terendah (Detik.com, 26 Oktober 2023). Bupati dan bangsawan lokal yang bekerja untuk Belanda mendapat keistimewaan, tetapi rakyat biasa menghadapi diskriminasi dan penindasan.
-
Faktor Penyebab: Sistem administrasi kolonial, seperti pembagian Jawa menjadi distrik di bawah residen Eropa, mengikis otonomi lokal. Bupati menjadi pegawai kolonial dengan gaji, bukan pemimpin tradisional (Indonesia Investments, 10 Juni 2020). Kebijakan ini menciptakan kesenjangan antara elit lokal yang berkolaborasi dan rakyat biasa.
-
Dampak: Kesenjangan sosial memicu ketegangan antara kelas sosial. Pribumi sering diperlakukan sebagai warga kelas dua, tanpa akses ke pendidikan atau hak hukum yang sama dengan orang Eropa (Detik.com, 26 Oktober 2023). Sistem feodalisme yang diperkuat oleh kolonialisme membuat petani tunduk pada tuan tanah asing atau lokal.
-
Contoh Kasus: Di Lebak, Banten, penderitaan petani akibat penindasan bupati yang bekerja untuk Belanda kemudian digambarkan dalam buku Max Havelaar oleh Multatuli (1860) (Kompas.com, 1 Februari 2020).
4. Hilangnya Otonomi Budaya dan Identitas 
Kebijakan kolonial mengganggu struktur budaya dan sosial tradisional. Pemerintah Belanda dan Inggris memaksakan nilai-nilai Eropa, seperti penggunaan bahasa Belanda dalam administrasi dan pengenalan sistem hukum Barat (Detik.com, 26 Oktober 2023). Raffles, meskipun mendokumentasikan budaya Jawa dalam The History of Java (1817), tetap memprioritaskan kepentingan kolonial (Universitas Islam An Nur Lampung, 3 September 2024).
-
Faktor Penyebab: Kolonialisme bertujuan mendominasi tidak hanya ekonomi dan politik, tetapi juga budaya, untuk memperkuat hegemoni Eropa. Pendidikan terbatas pada elit Eropa dan keturunan Asia, sementara pribumi tidak mendapat akses (Detik.com, 26 Oktober 2023).
-
Dampak: Hilangnya otonomi budaya melemahkan identitas lokal. Kerajaan-kerajaan seperti Mataram dan Banten kehilangan kekuasaan politik, dan tradisi lokal sering dianggap rendah oleh kolonial (Kompas.com, 1 Februari 2020). Hal ini memicu perasaan terasing di kalangan pribumi.
-
Contoh Kasus: Pengenalan pajak tanah oleh Raffles mengabaikan sistem kepemilikan tanah komunal tradisional, menyebabkan konflik sosial di desa-desa Jawa (Universitas Islam An Nur Lampung, 3 September 2024).
5. Kekerasan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Pelanggaran HAM adalah ciri utama kolonialisme pada 1810-an. Pribumi menghadapi kekerasan fisik, perampasan tanah, dan perbudakan dalam bentuk kerja paksa. Belanda, meskipun kemudian dikenal sebagai pembela HAM, menyembunyikan pelanggaran ini dalam narasi “Zaman Keemasan” mereka (Indonesia Investments, 10 Juni 2020).
-
Faktor Penyebab: Kolonialisme bertujuan memaksimalkan keuntungan dengan biaya minimal, sering kali melalui kekerasan. Pribumi dianggap sebagai sumber daya yang dapat dieksploitasi (Detik.com, 26 Oktober 2023).
-
Dampak: Kekerasan menciptakan ketakutan dan ketidakstabilan sosial. Banyak komunitas lokal terpecah karena konflik yang dipicu oleh intervensi kolonial, seperti politik adu domba (Kompas.com, 1 Februari 2020).
-
Contoh Kasus: Di Bali, intervensi Belanda pada 1810-an dalam konflik suksesi kerajaan memicu ketegangan sosial dan pemberontakan kecil (Indonesia Investments, 10 Juni 2020).
Respons Masyarakat: Perlawanan dan Adaptasi
Meskipun menghadapi tekanan sosial yang berat, masyarakat pribumi tidak pasif. Berbagai bentuk perlawanan dan adaptasi muncul sebagai respons terhadap masalah sosial:
-
Perlawanan Bersenjata: Pada 1810-an, perlawanan lokal terjadi di berbagai daerah, meskipun bersifat sporadis dan kedaerahan. Misalnya, di Jawa Tengah, pemberontakan kecil dipicu oleh kerja rodi dan pajak berat (Kompas.com, 1 Februari 2020). Perlawanan ini sering dipimpin oleh bangsawan atau tokoh agama, seperti yang kemudian terlihat pada Perang Diponegoro (1825–1830), yang akarnya dapat ditelusuri ke periode ini (post:0).
-
Adaptasi Sosial: Beberapa kelompok pribumi, terutama elit lokal, beradaptasi dengan bekerja untuk kolonial. Bupati di Jawa, misalnya, menjadi pegawai kolonial untuk mempertahankan status sosial mereka (Indonesia Investments, 10 Juni 2020). Namun, adaptasi ini sering memicu ketegangan dengan rakyat biasa.
-
Perkembangan Awal Nasionalisme: Meskipun kebangkitan nasional baru terlihat jelas pada abad ke-20, periode 1810-an meletakkan benih perlawanan. Penderitaan akibat kolonialisme mulai membentuk kesadaran kolektif di kalangan pribumi, terutama di kalangan terdidik (Kompas.com, 1 Februari 2020).
Dampak Jangka Panjang
Masalah sosial pada 1810-an memiliki dampak jangka panjang terhadap masyarakat Indonesia:
-
Kemiskinan Struktural: Eksploitasi ekonomi menciptakan kemiskinan struktural yang berlangsung hingga abad ke-20. Sistem landrente dan kerja paksa menjadi cikal bakal Cultuurstelsel (tanam paksa) pada 1830-an, yang semakin memperburuk kondisi sosial (Kompas.com, 1 Februari 2020).
-
Kesenjangan Sosial: Hierarki kolonial memperdalam kesenjangan antara elit dan rakyat biasa, yang memengaruhi struktur sosial hingga masa kemerdekaan (Detik.com, 26 Oktober 2023).
-
Trauma Sosial: Kekerasan dan penindasan meninggalkan trauma kolektif, yang memicu perlawanan besar seperti Perang Aceh dan Perang Diponegoro (Kompas.com, 1 April 2020).
-
Warisan Budaya: Meskipun Raffles berkontribusi pada pelestarian budaya melalui pendirian Kebun Raya Bogor dan pemugaran candi, kebijakan kolonial secara keseluruhan melemahkan identitas lokal (Universitas Islam An Nur Lampung, 3 September 2024).
Analisis Kritis: Perspektif Kolonial vs Pribumi
Narasi kolonial, terutama dari Belanda, sering menggambarkan periode ini sebagai bagian dari “Zaman Keemasan” karena keuntungan ekonomi yang mereka peroleh (Indonesia Investments, 10 Juni 2020). Namun, perspektif pribumi menunjukkan penderitaan massal akibat eksploitasi. Buku Max Havelaar (1860) oleh Multatuli, meskipun ditulis kemudian, mencerminkan realitas sosial pada 1810-an, di mana petani Lebak menderita akibat penindasan (Kompas.com, 1 Februari 2020). Analisis modern menunjukkan bahwa kolonialisme tidak hanya mengeksploitasi sumber daya, tetapi juga menghancurkan struktur sosial tradisional, menciptakan ketimpangan yang sulit diatasi hingga masa kemerdekaan.
Kesimpulan
Pada tahun 1810-an, masyarakat Indonesia menghadapi masalah sosial yang parah akibat kolonialisme Belanda dan Inggris. Kemiskinan ekstrem, kerja paksa, kesenjangan sosial, hilangnya otonomi budaya, dan pelanggaran HAM menjadi ciri utama periode ini. Kebijakan Daendels, seperti pembangunan Jalan Raya Pos, dan reformasi Raffles, seperti landrente, memperburuk penderitaan pribumi (Kompas.com, 1 Februari 2020; Universitas Islam An Nur Lampung, 3 September 2024). Meskipun masyarakat menunjukkan ketahanan melalui perlawanan dan adaptasi, dampak jangka panjang dari masalah sosial ini membentuk tantangan struktural yang berlangsung hingga abad berikutnya. Periode ini menjadi pengingat akan harga mahal kolonialisme dan pentingnya memahami sejarah untuk mencegah pengulangan ketidakadilan sosial.
BACA JUGA: Panduan Perawatan Ikan Mujair dari 0 Hari hingga Siap Produksi
BACA JUGA: Suaka untuk Kuda: Perlindungan dan Perawatan bagi Kuda yang Membutuhkan
BACA JUGA: Detail Planet Saturnus: Karakteristik, Struktur, dan Keajaiban Kosmik