semdinlihaber.com, 30 MEI 2025
Penulis: Riyan Wicaksono
Editor: Muhammad Kadafi
Tim Redaksi: Diplomasi Internasional Perusahaan Victory88
Pada tahun 1740-an, wilayah yang kini dikenal sebagai Indonesia berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda melalui Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dan terdiri dari berbagai kerajaan serta wilayah perdagangan yang terfragmentasi. Periode ini ditandai oleh masalah sosial yang kompleks, yang dipicu oleh kolonialisme, eksploitasi ekonomi, ketegangan antar-etnis, dan pemberontakan. Salah satu peristiwa paling signifikan adalah Geger Pacinan (1740–1743), sebuah pemberontakan etnis Tionghoa di Batavia yang memuncak dalam pembantaian massal dan memengaruhi dinamika sosial di wilayah tersebut. Artikel ini mengulas secara mendalam masalah sosial di Indonesia pada tahun 1740-an, dengan fokus pada konteks sejarah, ketegangan sosial, dan dampaknya terhadap masyarakat, berdasarkan sumber-sumber seperti Britannica, Journal of Social History, dan postingan di platform X.
1. Konteks Sejarah: Kolonialisme Belanda dan Struktur Sosial
Pada tahun 1740-an, sebagian besar wilayah Indonesia berada di bawah pengaruh VOC, yang berpusat di Batavia (kini Jakarta). VOC mengendalikan perdagangan rempah-rempah, terutama di Jawa, Maluku, dan Sumatra, sambil berinteraksi dengan kerajaan-kerajaan lokal seperti Mataram, Banten, dan kerajaan-kerajaan di Indonesia Timur. Struktur sosial masyarakat Indonesia pada masa ini sangat beragam, terdiri dari penduduk pribumi (terutama Jawa, Melayu, dan kelompok etnis lain), komunitas Tionghoa yang aktif dalam perdagangan, serta minoritas Eropa (Belanda) yang membentuk kelas penguasa kolonial.
Struktur Sosial Kolonial:
-
Pribumi: Mayoritas penduduk adalah petani dan pengrajin yang hidup di bawah sistem feodal lokal atau diatur oleh VOC melalui sistem kerja paksa, seperti Preangerstelsel untuk budidaya kopi di Jawa Barat.
-
Etnis Tionghoa: Komunitas Tionghoa di Batavia dan kota-kota pelabuhan lainnya adalah pedagang, pengrajin, dan pekerja yang memainkan peran penting dalam ekonomi kolonial. Namun, mereka sering menjadi target diskriminasi dan kebijakan kolonial yang menekan.
-
Belanda dan Eropa Lainnya: Komunitas Belanda membentuk kelas elit yang mengendalikan administrasi, perdagangan, dan militer. Mereka hidup di enklave Eropa, menciptakan segregasi sosial berbasis ras.
Konteks Ekonomi: VOC mengenakan pajak berat dan monopoli perdagangan, yang menyebabkan eksploitasi sumber daya dan tenaga kerja. Sistem Preangerstelsel memaksa petani Jawa menanam kopi untuk ekspor, sering kali tanpa kompensasi yang adil, yang memperburuk kemiskinan dan ketimpangan sosial. Selain itu, perdagangan rempah-rempah yang menguntungkan VOC tidak banyak memberikan manfaat bagi penduduk lokal, melainkan memperkaya elit kolonial dan pedagang Tionghoa tertentu.
2. Masalah Sosial Utama pada Tahun 1740-an
2.1 Geger Pacinan dan Pembantaian Etnis Tionghoa (1740)
Salah satu masalah sosial paling signifikan pada tahun 1740-an adalah Geger Pacinan, sebuah pemberontakan etnis Tionghoa di Batavia yang dipicu oleh kebijakan kolonial yang diskriminatif. Pada Oktober 1740, Gubernur Jenderal VOC Adriaan Valckenier memerintahkan pembantaian massal terhadap komunitas Tionghoa di Batavia, yang dikenal sebagai Tragedi Angke. Sekitar 10.000 warga Tionghoa, yang sebagian besar adalah pedagang dan pekerja, dibunuh dalam waktu beberapa hari.
Latar Belakang:
-
Diskriminasi Ekonomi: VOC memberlakukan pajak tinggi dan pembatasan perdagangan terhadap komunitas Tionghoa, yang dianggap sebagai ancaman ekonomi karena keberhasilan mereka dalam perdagangan. Kebijakan seperti wijkenstelsel (pemisahan tempat tinggal berdasarkan etnis) dan larangan kepemilikan senjata memperburuk ketegangan.
-
Isu Deportasi: Pada 1740, VOC merencanakan deportasi massal warga Tionghoa ke Sri Lanka (Ceylon) karena dianggap terlalu banyak dan berpotensi memberontak. Rumor bahwa deportasi ini akan berujung pada pembunuhan di laut memicu keresahan di kalangan Tionghoa.
-
Pemberontakan: Ketegangan memuncak ketika sekelompok Tionghoa menyerang pos-pos VOC di sekitar Batavia. Valckenier menanggapi dengan kekerasan brutal, memerintahkan pembantaian yang melibatkan militer Belanda, milisi pribumi, dan bahkan warga Eropa lainnya.
Dampak:
-
Korban Jiwa dan Pengungsian: Pembantaian ini menyebabkan kehancuran komunitas Tionghoa di Batavia. Banyak yang melarikan diri ke Semarang dan daerah lain di Jawa Tengah, di mana mereka mendapat dukungan dari Sunan Mataram Pakubuwono II, yang berpura-pura mendukung VOC sambil membantu pemberontak Tionghoa.
-
Perang Jawa (1741–1743): Geger Pacinan memicu Perang Jawa, di mana aliansi Tionghoa dan pribumi Jawa melawan VOC. Perang ini memperburuk ketegangan sosial dan memperlemah posisi VOC di Jawa.
-
Segregasi Etnis: Setelah pembantaian, VOC memperkuat kebijakan segregasi, memisahkan komunitas Tionghoa dan pribumi untuk mencegah persatuan antar-etnis, yang justru memupuk sentimen negatif yang berlangsung lama.
Misteri dan Kontroversi: Beberapa sejarawan berpendapat bahwa pembantaian ini sengaja diprovokasi oleh VOC untuk melemahkan komunitas Tionghoa yang kuat secara ekonomi. Buku seperti Pembantaian Massal 1740 karya Hembing Wijayakusuma dan Geger Pacinan 1740-1743 karya Daradjadi menyoroti skala kekejaman dan dampaknya terhadap hubungan antar-etnis.
2.2 Eksploitasi Tenaga Kerja dan Ketimpangan Sosial
Sistem kerja paksa yang diterapkan VOC, seperti Preangerstelsel, menjadi sumber utama ketimpangan sosial. Petani Jawa dipaksa menanam tanaman ekspor seperti kopi dan tebu, sering kali tanpa upah yang layak, sementara hasil panen diambil oleh VOC.
-
Ketimpangan Ekonomi: Sementara elit kolonial dan beberapa pedagang Tionghoa kaya menikmati keuntungan dari perdagangan, petani pribumi hidup dalam kemiskinan. Sistem landrent (pajak tanah) membebani petani, memperburuk kesenjangan antara kelas penguasa dan rakyat jelata.
-
Perbudakan dan Buruh Paksa: Di luar Jawa, khususnya di Maluku dan Indonesia Timur, perbudakan masih umum terjadi. VOC mengimpor budak dari wilayah seperti Bali dan Nusa Tenggara untuk bekerja di perkebunan dan pelabuhan. Kondisi kerja yang keras dan tidak manusiawi memicu penderitaan sosial yang luas.
-
Pemberontakan Petani: Eksploitasi ini memicu pemberontakan kecil di kalangan petani, meskipun tidak sebesar Perang Jawa. Misalnya, di Jawa Barat, petani sering kali menolak kerja paksa, tetapi pemberontakan ini biasanya ditumpas dengan kekerasan oleh VOC.
2.3 Ketegangan Antar-Etnis dan Agama
Selain ketegangan antara Tionghoa dan Belanda, terdapat juga konflik antara pribumi dan kelompok lain:
-
Pribumi vs. Tionghoa: Sebelum Geger Pacinan, hubungan antara pribumi dan Tionghoa relatif harmonis di beberapa wilayah, tetapi pembantaian 1740 memicu sentimen negatif. VOC sengaja memisahkan kedua kelompok untuk mencegah aliansi, yang justru memperdalam ketidakpercayaan antar-etnis.
-
Islam vs. Kolonialisme: Pada tahun 1740-an, Islam telah menjadi kekuatan penting di Jawa, terutama di kerajaan-kerajaan seperti Mataram. Namun, VOC sering kali memandang komunitas Muslim dengan curiga, terutama karena hubungan mereka dengan pedagang Muslim dari wilayah lain. Ketegangan ini terlihat dalam dukungan Pakubuwono II terhadap pemberontak Tionghoa, yang juga merupakan bentuk perlawanan terhadap dominasi Belanda.
-
Hindu vs. Muslim di Lombok: Di Lombok, kekuasaan Hindu-Bali atas mayoritas Muslim Sasak menciptakan ketegangan sosial. Penelitian seperti Hindu Rulers, Muslim Subjects (2001) menunjukkan bahwa pada 1740-an, kekuasaan Bali di Lombok mulai digugat oleh penduduk Sasak, yang merasa tertindas.
2.4 Ketidakstabilan Politik dan Konflik Internal
Kerajaan-kerajaan lokal seperti Mataram menghadapi konflik internal yang memperburuk masalah sosial:
-
Pembagian Mataram: Pada pertengahan abad ke-18, Kerajaan Mataram terpecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta akibat konflik suksesi dan intervensi VOC. Perpecahan ini melemahkan struktur sosial tradisional dan menciptakan ketidakstabilan di kalangan masyarakat Jawa.
-
Korupsi dan Nepotisme: Elit lokal yang bekerja sama dengan VOC sering kali terlibat dalam korupsi, memperburuk ketimpangan sosial dan memicu ketidakpuasan rakyat.
3. Dampak Masalah Sosial terhadap Masyarakat 
-
Trauma Sosial: Pembantaian Geger Pacinan meninggalkan trauma mendalam bagi komunitas Tionghoa dan memperburuk hubungan antar-etnis. Banyak keluarga Tionghoa yang selamat kehilangan harta benda dan terpaksa mengungsi, menciptakan diaspora Tionghoa di Jawa Tengah dan Timur.
-
Pelemahan Ekonomi Lokal: Eksploitasi VOC dan perang yang dipicu oleh Geger Pacinan mengganggu perdagangan dan pertanian, memperburuk kemiskinan di kalangan petani dan pedagang kecil.
-
Peningkatan Kontrol Kolonial: Setelah Perang Jawa, VOC memperketat kontrol atas wilayah Jawa, termasuk melalui perjanjian dengan kerajaan-kerajaan lokal. Hal ini mengurangi otonomi masyarakat pribumi dan memperkuat segregasi sosial.
-
Warisan Ketegangan Etnis: Kebijakan segregasi VOC setelah 1740 memupuk sentimen antar-etnis yang berlangsung hingga abad berikutnya, memengaruhi dinamika sosial di Indonesia modern.
4. Analisis dan Teori 
Beberapa sejarawan berpendapat bahwa masalah sosial pada tahun 1740-an adalah akibat langsung dari kolonialisme Belanda, yang menciptakan sistem eksploitasi dan segregasi untuk mempertahankan kekuasaan. Journal of Social History mencatat bahwa VOC memanfaatkan ketegangan antar-etnis untuk mencegah persatuan melawan kolonialisme. Namun, ada juga pandangan bahwa konflik seperti Geger Pacinan tidak hanya dipicu oleh VOC, tetapi juga oleh dinamika internal komunitas Tionghoa dan pribumi, seperti persaingan ekonomi dan perbedaan budaya.
Teori konspirasi, seperti yang diungkapkan dalam beberapa sumber populer, menyebutkan bahwa VOC sengaja memprovokasi pembantaian untuk melemahkan komunitas Tionghoa yang dianggap terlalu kuat. Namun, sumber akademis seperti Batavia 1740 karya Windoro Adi lebih menekankan pada kombinasi faktor ekonomi, politik, dan sosial sebagai pemicu.
5. Kesimpulan
Masalah sosial di Indonesia pada tahun 1740-an didominasi oleh dampak kolonialisme Belanda, khususnya melalui eksploitasi ekonomi, diskriminasi etnis, dan ketimpangan sosial. Geger Pacinan 1740 menjadi simbol dari ketegangan antar-etnis yang diperburuk oleh kebijakan VOC, dengan pembantaian massal dan Perang Jawa yang mengikutinya meninggalkan luka sosial yang mendalam. Selain itu, sistem kerja paksa dan konflik internal di kerajaan-kerajaan lokal seperti Mataram memperparah ketidakstabilan sosial. Periode ini menunjukkan bagaimana intervensi kolonial tidak hanya mengubah lanskap ekonomi, tetapi juga menciptakan perpecahan sosial yang berlangsung lama. Penelitian lebih lanjut, terutama menggunakan arsip VOC dan catatan lokal, diperlukan untuk memahami lebih dalam dinamika sosial pada masa ini.
BACA JUGA: Detail Planet Mars: Karakteristik, Struktur, dan Misteri Terkecil di Tata Surya
BACA JUGA: Cerita Rakyat Tiongkok: Warisan Budaya, Makna, dan Pengaruhnya
BACA JUGA: Perbedaan Perkembangan Media Sosial Tahun 2020-2025: Analisis Lengkap Secara Mendalam