semdinlihaber.com, 9 MEI 2025
Penulis: Riyan Wicaksono
Editor: Muhammad Kadafi
Tim Redaksi: Diplomasi Internasional Perusahaan Victory88
Pada awal abad ke-20, Indonesia—yang saat itu dikenal sebagai Hindia Belanda—mengalami transformasi sosial, ekonomi, dan politik yang signifikan di bawah kekuasaan kolonial Belanda. Dekade 1910-an, khususnya, ditandai oleh berbagai masalah sosial yang muncul akibat struktur kolonial, ketimpangan ekonomi, dan perubahan budaya yang dipicu oleh modernisasi. Masalah-masalah ini tidak hanya memengaruhi kehidupan masyarakat pribumi, tetapi juga membentuk benih-benih perlawanan dan kesadaran nasional yang kemudian memuncak pada gerakan kemerdekaan.
Artikel ini akan menganalisis secara mendalam masalah sosial yang menonjol di Indonesia pada tahun 1910-an, konteks historis yang melatarbelakanginya, serta dampak jangka pendek dan jangka panjangnya terhadap masyarakat dan perkembangan nasional. Dengan pendekatan historis, artikel ini bertujuan untuk memberikan gambaran yang jelas dan rinci tentang dinamika sosial pada periode tersebut.
Konteks Historis: Hindia Belanda pada Awal Abad ke-20 
Pada tahun 1910-an, Indonesia berada di bawah kendali kolonial Belanda yang telah berlangsung selama lebih dari dua abad. Pemerintahan kolonial dijalankan oleh Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) hingga akhir abad ke-18, sebelum digantikan oleh administrasi langsung Belanda. Pada awal abad ke-19, reformasi administratif diperkenalkan oleh Herman Willem Daendels dan Thomas Stamford Raffles, yang membagi pulau Jawa menjadi distrik-distrik (residensi) yang dipimpin oleh residen Eropa. Reformasi ini mencakup pengenalan pajak tanah, reorganisasi peradilan, dan modernisasi administrasi, yang semuanya berdampak besar pada struktur sosial masyarakat pribumi.
Perekonomian kolonial berpusat pada eksploitasi sumber daya alam, terutama melalui perkebunan (tebu, kopi, dan tembakau) dan perdagangan rempah-rempah. Sistem tanam paksa (cultuurstelsel), meskipun secara resmi dihentikan pada akhir abad ke-19, meninggalkan warisan ketimpangan ekonomi dan kemiskinan di kalangan petani pribumi. Pada dekade 1910-an, ekonomi perkebunan masih menjadi tulang punggung kolonial, tetapi modernisasi mulai terlihat melalui perluasan infrastruktur, seperti rel kereta api dan pelabuhan, serta munculnya kelas pekerja urban.
Sementara itu, masyarakat pribumi mayoritas hidup sebagai petani subsisten atau buruh perkebunan dengan upah rendah. Struktur sosial kolonial yang hierarkis menempatkan orang Eropa di puncak, diikuti oleh keturunan Tionghoa dan Indo-Eropa, sementara pribumi berada di lapisan terbawah. Ketimpangan ini menjadi akar dari berbagai masalah sosial yang akan dibahas berikut ini.
Masalah Sosial Utama di Indonesia pada Tahun 1910-an 
Berikut adalah analisis rinci dari masalah sosial yang menonjol pada periode ini, beserta faktor penyebab dan dampaknya:
1. Kemiskinan dan Ketimpangan Ekonomi 
Penyebab: Kemiskinan merupakan masalah sosial utama di Hindia Belanda pada tahun 1910-an, terutama di kalangan petani dan buruh perkebunan. Sistem pajak tanah yang diperkenalkan oleh Raffles, yang mengharuskan petani membayar pajak sebesar dua perlima dari hasil panen tahunan, membebani petani kecil yang sudah hidup dalam kondisi subsistensi. Meskipun sistem tanam paksa telah dihapus, banyak petani masih terikat pada kontrak kerja dengan perkebunan Eropa, yang sering kali membayar upah sangat rendah. Selain itu, kenaikan harga barang pokok pada tahun 1910–1912 memperburuk kondisi ekonomi masyarakat.
Struktur ekonomi kolonial juga menciptakan kesenjangan besar antara elite Eropa dan pribumi. Perkebunan dan perdagangan menghasilkan keuntungan besar bagi Belanda, tetapi sebagian kecil saja yang mengalir kembali ke masyarakat lokal. Keturunan Tionghoa, yang sering bertindak sebagai perantara perdagangan, juga memiliki posisi ekonomi yang lebih baik dibandingkan pribumi, yang memicu ketegangan sosial.
Dampak:
-
Krisis Kesejahteraan: Kemiskinan menyebabkan sulitnya memenuhi kebutuhan dasar, seperti makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Banyak keluarga petani terjebak dalam lingkaran kemiskinan, dengan akses terbatas ke pendidikan dan layanan kesehatan.
-
Ketegangan Sosial: Ketimpangan ekonomi memicu ketidakpuasan terhadap pemerintah kolonial dan elite lokal yang bekerja sama dengan Belanda, seperti bupati dan kepala desa.
-
Aksi Mogok Buruh: Kenaikan harga barang pokok dan upah rendah mendorong aksi mogok kerja di kalangan buruh perkebunan dan pelabuhan, yang menjadi cikal bakal kesadaran kolektif melawan eksploitasi.
2. Eksploitasi Buruh dan Kondisi Kerja yang Buruk 
Penyebab: Buruh perkebunan, pelabuhan, dan rel kereta api sering bekerja dalam kondisi yang sangat buruk. Upah kecil, jam kerja panjang, dan kurangnya perlindungan hukum menjadi keluhan utama. Pemerintah kolonial tidak memiliki regulasi yang melindungi hak-hak buruh, dan pengabaian terhadap kesejahteraan pekerja memperparah eksploitasi. Selain itu, banyak buruh adalah pekerja kontrak yang dipekerjakan melalui sistem koeli, yang sering kali melibatkan praktik mirip perbudakan.
Dampak:
-
Penderitaan Manusia: Buruh menghadapi risiko kesehatan tinggi, termasuk penyakit akibat kondisi kerja yang tidak higienis dan kecelakaan kerja tanpa kompensasi.
-
Kesadaran Politik: Kondisi buruh yang buruk memicu munculnya organisasi buruh awal, seperti Serikat Dagang Islam (didirikan pada 1905, tetapi aktif pada 1910-an), yang mulai menyuarakan hak-hak pekerja.
-
Konflik dengan Pemerintah Kolonial: Aksi mogok kerja, meskipun masih terbatas, sering kali ditekan keras oleh pemerintah kolonial, yang memperkuat persepsi ketidakadilan.
3. Diskriminasi Rasial dan Kesenjangan Sosial
Penyebab: Struktur sosial kolonial yang hierarkis menciptakan diskriminasi rasial yang sistematis. Orang Eropa menikmati hak istimewa dalam hal pendidikan, pekerjaan, dan akses ke layanan publik, sementara pribumi sering dianggap sebagai warga kelas dua. Keturunan Tionghoa, meskipun memiliki posisi ekonomi yang lebih baik, juga menghadapi diskriminasi dari pemerintah kolonial, seperti pembatasan tempat tinggal di wijkenstelsel.
Pendidikan formal, yang mulai berkembang melalui sekolah-sekolah Belanda seperti Hollandsche Inlandsche School (HIS), hanya tersedia bagi segelintir elite pribumi dan keturunan Indo-Eropa. Hal ini memperdalam kesenjangan sosial, karena mayoritas pribumi tidak memiliki akses ke pendidikan modern.
Dampak:
-
Alienasi Sosial: Diskriminasi rasial menciptakan rasa inferioritas di kalangan pribumi, yang kemudian dianalisis sebagai “mental inlander” dalam studi poskolonial.
-
Kesadaran Nasional: Ketidakpuasan terhadap = terhadap diskriminasi mendorong munculnya organisasi seperti Budi Utomo (didirikan pada 1908), yang bertujuan untuk memajukan pendidikan dan martabat pribumi.
-
Ketegangan Antar-Kelompok: Diskriminasi memicu ketegangan antara pribumi, Tionghoa, dan Eropa, yang kadang-kadang memicu konflik lokal, seperti kerusuhan anti-Tionghoa di beberapa kota.
4. Keterbatasan Akses Pendidikan dan Kesehatan
Penyebab: Sistem pendidikan di Hindia Belanda pada 1910-an sangat terbatas. Sekolah-sekolah formal hanya tersedia di kota-kota besar dan sebagian besar diperuntukkan bagi anak-anak Eropa atau elite pribumi. Pendidikan agama tradisional, seperti pesantren, tetap dominan di pedesaan, tetapi tidak memberikan keterampilan modern yang diperlukan untuk bersaing dalam ekonomi kolonial. Layanan kesehatan juga sangat minim, dengan rumah sakit dan dokter hanya tersedia di kota-kota besar, sehingga wabah penyakit seperti kolera dan malaria sering melanda tanpa penanganan memadai.
Dampak:
-
Kesenjangan Pengetahuan: Keterbatasan pendidikan menghambat mobilitas sosial dan memperkuat struktur kelas kolonial.
-
Krisis Kesehatan: Kurangnya layanan kesehatan menyebabkan tingkat kematian yang tinggi, terutama di kalangan anak-anak dan buruh perkebunan.
-
Kesadaran Reformasi: Keterbatasan ini mendorong organisasi seperti Muhammadiyah (didirikan pada 1912) untuk mendirikan sekolah dan rumah sakit sebagai bagian dari gerakan reformasi sosial-religius.
5. Munculnya Ideologi Politik dan Ketegangan Sosial
Penyebab: Dekade 1910-an menyaksikan munculnya organisasi politik dan sosial yang mulai menantang status quo kolonial. Selain Budi Utomo dan Muhammadiyah, Asosiasi Sosial Demokrat Hindia (didirikan pada 1914) menyebarkan ide-ide Marxisme, yang menarik perhatian kalangan buruh dan intelektual pribumi. Ide-ide ini, meskipun masih terbatas, mulai menggugah kesadaran politik di kalangan masyarakat urban.
Pemerintah kolonial awalnya mengizinkan organisasi-organisasi ini, tetapi menjadi semakin represif ketika ideologi politik mulai radikal, terutama setelah munculnya Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1920. Ketegangan sosial meningkat seiring dengan munculnya sentimen anti-kolonial.
Dampak:
-
Kebangkitan Nasionalisme: Organisasi seperti Budi Utomo dan Muhammadiyah menjadi cikal bakal gerakan nasionalisme Indonesia, yang menekankan pendidikan, kesetaraan, dan identitas kebangsaan.
-
Represi Kolonial: Pemerintah kolonial mulai menekan organisasi politik, yang justru memperkuat tekad perlawanan di kalangan pribumi.
-
Polarisasi Sosial: Munculnya ideologi politik menciptakan perpecahan antara kelompok konservatif, reformis, dan radikal, yang memengaruhi dinamika sosial pada dekade berikutnya.
Analisis Historis: Faktor Penyebab dan Dinamika Sosial
Masalah sosial pada tahun 1910-an tidak dapat dipisahkan dari struktur kolonial yang eksploitatif dan hierarkis. Berikut adalah beberapa faktor utama yang mendorong munculnya masalah-masalah tersebut:
-
Eksploitasi Ekonomi Kolonial: Fokus pada keuntungan ekonomi menyebabkan pengabaian kesejahteraan masyarakat pribumi, yang memicu kemiskinan, eksploitasi buruh, dan ketimpangan sosial.
-
Struktur Sosial Hierarkis: Diskriminasi rasial dan kesenjangan akses ke pendidikan serta kesehatan memperkuat perpecahan sosial dan rasa ketidakadilan.
-
Modernisasi dan Urbanisasi: Perluasan infrastruktur dan pertumbuhan kota-kota seperti Batavia dan Surabaya menciptakan kelas pekerja urban yang mulai menyadari hak-hak mereka, tetapi juga menghadapi kondisi hidup yang buruk.
-
Pengaruh Global: Ide-ide liberal, sosialis, dan nasionalis dari Eropa dan Asia (seperti gerakan Pan-Islamisme) mulai masuk melalui pelajar, pedagang, dan media, yang menggugah kesadaran politik.
Dinamika sosial pada periode ini ditandai oleh ketegangan antara status quo kolonial dan munculnya kesadaran kolektif di kalangan pribumi. Meskipun perlawanan bersenjata masih jarang, aksi mogok kerja, pembentukan organisasi sosial, dan penyebaran ide-ide baru menunjukkan bahwa masyarakat mulai menolak eksploitasi dan ketidakadilan.
Dampak Jangka Pendek dan Jangka Panjang
Dampak Jangka Pendek:
-
Peningkatan Kesadaran Sosial: Masalah sosial pada 1910-an mendorong pembentukan organisasi seperti Muhammadiyah dan Serikat Dagang Islam, yang berfokus pada pendidikan, kesejahteraan, dan pemberdayaan masyarakat.
-
Konflik dengan Pemerintah Kolonial: Aksi mogok kerja dan organisasi politik awal memicu respons represif dari Belanda, yang meningkatkan ketegangan sosial.
-
Perubahan Sosial Lokal: Reformasi pendidikan dan kesehatan oleh organisasi seperti Muhammadiyah mulai meningkatkan kualitas hidup di beberapa komunitas, meskipun masih terbatas.
Dampak Jangka Panjang:
-
Kebangkitan Nasionalisme: Masalah sosial pada 1910-an menjadi katalis bagi gerakan nasionalisme Indonesia. Organisasi seperti Budi Utomo dan Muhammadiyah meletakkan dasar bagi perjuangan kemerdekaan pada dekade berikutnya.
-
Pemberdayaan Masyarakat: Fokus pada pendidikan dan kesejahteraan oleh organisasi sosial membantu menciptakan generasi intelektual dan aktivis yang memimpin perjuangan kemerdekaan.
-
Warisan Ketimpangan: Meskipun banyak kemajuan dicapai setelah kemerdekaan, masalah seperti kemiskinan, kesenjangan sosial, dan keterbatasan akses pendidikan serta kesehatan tetap menjadi tantangan hingga kini, sebagian karena warisan kolonial.
Kesimpulan
Dekade 1910-an di Indonesia adalah periode transisi yang penuh dengan masalah sosial yang kompleks, mulai dari kemiskinan dan eksploitasi buruh hingga diskriminasi rasial dan keterbatasan akses pendidikan serta kesehatan. Masalah-masalah ini, yang berakar dari struktur kolonial yang eksploitatif, tidak hanya menyebabkan penderitaan bagi masyarakat pribumi, tetapi juga memicu kesadaran kolektif yang menjadi cikal bakal perjuangan nasionalisme.
Analisis historis menunjukkan bahwa masalah sosial pada periode ini bukan sekadar akibat dari kebijakan kolonial, tetapi juga bagian dari dinamika global yang membawa ide-ide baru ke Indonesia. Dampaknya, baik jangka pendek maupun jangka panjang, membentuk lintasan sejarah Indonesia menuju kemerdekaan dan terus memengaruhi tantangan sosial yang dihadapi bangsa ini hingga kini.
Dengan memahami masalah sosial pada tahun 1910-an, kita dapat menghargai perjuangan masyarakat Indonesia dalam menghadapi ketidakadilan dan melihat bagaimana benih-benih perubahan yang ditanam pada masa itu telah membawa bangsa ini menuju kemerdekaan dan kemajuan. Namun, warisan ketimpangan sosial mengingatkan kita bahwa perjuangan untuk keadilan dan kesejahteraan masih relevan hingga hari ini.
BACA JUGA: Perkembangan Teknologi Militer Inggris: Inovasi dan Dampak Global
BACA JUGA: Perjalanan Karir KCON: Dari Konvensi Lokal ke Fenomena Global Hallyu
BACA JUGA: Perjalanan Karir Brad Pitt: Dari Awal Sederhana hingga Ikon Hollywood