WordPress theme design that brings blog posts rising above inverted header and footer components.

Masalah Sosial di Indonesia pada Tahun 1870-an: Ketimpangan dan Eksploitasi di Bawah Kolonial Belanda

semdinlihaber.com, 14 MEI 2025
Penulis: Riyan Wicaksono
Editor: Muhammad Kadafi
Tim Redaksi: Diplomasi Internasional Perusahaan Victory88

Pada tahun 1870-an, Indonesia—yang saat itu dikenal sebagai Hindia Belanda—berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda yang telah berlangsung selama lebih dari dua abad. Dekade ini menandai peralihan dari Cultuurstelsel (Sistem Tanam Paksa) yang eksploitatif menuju Kebijakan Liberal, yang diperkenalkan melalui Undang-Undang Agraria 1870. Meskipun kebijakan baru ini bertujuan untuk memodernisasi ekonomi kolonial, masalah sosial yang mendalam, seperti kemiskinan struktural, ketimpangan rasial, eksploitasi tenaga kerja, dan marginalisasi masyarakat pribumi, tetap menjadi ciri utama kehidupan sosial di Indonesia. Artikel ini akan mengulas secara mendalam masalah sosial di Indonesia pada tahun 1870-an, dengan fokus pada konteks sejarah, faktor penyebab, dampak pada masyarakat, dan upaya awal perlawanan, berdasarkan sumber terpercaya seperti Indonesia Investments, Britannica, dan penelitian akademik.

Konteks Sejarah: Indonesia di Bawah Kolonial Belanda

Dominasi Kolonial Belanda Sejarah Ekonomi Liberal Kolonial Hindia Belanda (1870-1900) : Latar  Belakang, Kebijakan dan Dampaknya - SMAN 13 Semarang Progresif

Pada tahun 1870-an, Hindia Belanda adalah koloni yang dikuasai oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) hingga 1799, kemudian diambil alih oleh pemerintah Belanda setelah kebangkrutan VOC. Menurut Indonesia Investments, kolonialisme Belanda di Indonesia berfokus pada eksploitasi sumber daya alam, terutama rempah-rempah, kopi, gula, dan nila, untuk memenuhi kebutuhan pasar Eropa. Pulau Jawa, sebagai pusat administrasi dan ekonomi, menjadi wilayah yang paling terdampak oleh kebijakan kolonial.

Dekade 1870-an adalah masa transisi penting. Cultuurstelsel, yang diterapkan sejak 1830, memaksa petani pribumi untuk mengalokasikan sebagian tanah dan tenaga mereka untuk menanam tanaman ekspor seperti gula, kopi, dan nila, sering kali dengan imbalan yang minim atau tanpa bayaran. Sistem ini menyebabkan kemiskinan massal, kelaparan, dan kematian, sebagaimana dicatat dalam penelitian dari University of Wollongong. Pada 1870, Cultuurstelsel secara resmi dihapuskan, digantikan oleh Kebijakan Liberal yang membuka peluang bagi perusahaan swasta Eropa untuk berinvestasi di perkebunan dan pertambangan, sebagaimana dijelaskan dalam Britannica.

Undang-Undang Agraria 1870  PERKEMBANGAN KEKUASAAN BARAT DI INDONESIA - ppt download

Undang-Undang Agraria 1870, yang diperkenalkan sebagai bagian dari Kebijakan Liberal, mengatur kepemilikan tanah dan investasi asing. Menurut Georgetown Journal of International Affairs, undang-undang ini memperkenalkan prinsip domein verklaring, yang menyatakan bahwa tanah yang tidak memiliki bukti kepemilikan resmi dianggap milik negara kolonial. Kebijakan ini memungkinkan perusahaan Eropa untuk menyewa tanah dalam jangka panjang, sering kali menggusur hak-hak adat masyarakat pribumi. Meskipun dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas ekonomi, kebijakan ini memperburuk ketimpangan sosial dan memperdalam eksploitasi.

Masalah Sosial Utama di Indonesia pada 1870-an

Masalah sosial di Indonesia pada dekade 1870-an berakar dari eksploitasi kolonial, ketimpangan struktural, dan perubahan sosial-ekonomi yang dipicu oleh kebijakan Belanda. Berikut adalah analisis mendalam tentang masalah utama:

1. Kemiskinan Struktural dan Eksploitasi Tenaga Kerja Asal-Usul dan Dampak Politik Pintu Terbuka di Hindia Belanda – Gramedia  Literasi

Kemiskinan struktural adalah masalah sosial yang paling menonjol pada 1870-an, sebagai warisan Cultuurstelsel dan transisi ke Kebijakan Liberal. Menurut postingan di X oleh @m6epan, operasi perkebunan besar selama Cultuurstelsel dan Kebijakan Agraria 1870 berkontribusi pada kemiskinan struktural dan generasional, terutama di Jawa Barat. Petani pribumi dipaksa menanam tanaman ekspor di bawah Cultuurstelsel, sering kali kehilangan hasil panen pangan mereka, yang menyebabkan kelaparan dan kematian. Penelitian dari CEPR menemukan bahwa daerah dengan intensitas Cultuurstelsel yang tinggi memiliki tingkat kematian yang lebih tinggi akibat kerja paksa.

Meskipun Cultuurstelsel dihapuskan pada 1870, Kebijakan Liberal tidak banyak memperbaiki kondisi petani. Perkebunan swasta, terutama gula dan kopi, menggantikan sistem tanam paksa dengan tenaga kerja upahan. Namun, upah rendah dan kondisi kerja yang buruk tetap menjadi masalah. Menurut MIT News, daerah dengan industri gula kolonial tetap lebih produktif secara ekonomi hingga abad ke-21, tetapi kemakmuran ini tidak dinikmati oleh pekerja pribumi, yang sering hidup dalam kemiskinan ekstrem.

2. Ketimpangan Rasial dan Sosial

Ketimpangan rasial menjadi ciri utama masyarakat kolonial pada 1870-an. Menurut Taniali.org, perkebunan besar memperkuat pembagian sosial berbasis ras, menempatkan orang Eropa (terutama Belanda) di puncak hierarki, diikuti oleh keturunan Tionghoa sebagai perantara perdagangan, dan pribumi di lapisan terbawah. Pribumi dianggap sebagai tenaga kerja murah, sementara hak-hak mereka atas tanah dan sumber daya diabaikan melalui kebijakan seperti domein verklaring.

Keturunan Tionghoa, yang berperan sebagai pedagang dan pengelola perkebunan, juga menghadapi diskriminasi dari Belanda, tetapi memiliki status sosial-ekonomi yang lebih baik dibandingkan pribumi. Menurut Semantics Scholar, tiga perempat kasus kebangkrutan bisnis pada periode ini melibatkan pengusaha Tionghoa, menunjukkan peran mereka yang signifikan namun rentan dalam ekonomi kolonial. Ketimpangan ini menciptakan ketegangan sosial, dengan konflik sporadis antara kelompok etnis dan terhadap otoritas kolonial.

3. Penggusuran Tanah dan Hilangnya Hak Adat

Undang-Undang Agraria 1870 memperburuk masalah penggusuran tanah. Menurut Inside Indonesia, prinsip domein verklaring melemahkan pengakuan atas hak tanah adat, memungkinkan Belanda untuk mengklaim tanah masyarakat pribumi sebagai milik negara. Tanah-tanah ini kemudian disewakan kepada perusahaan Eropa untuk perkebunan, seperti di Jawa dan Sumatra. Petani pribumi kehilangan akses ke lahan pertanian mereka, dipaksa menjadi buruh upahan atau bermigrasi ke daerah yang kurang produktif.

Penggusuran tanah ini tidak hanya menyebabkan kemiskinan, tetapi juga merusak struktur sosial tradisional. Desa-desa yang sebelumnya memiliki sistem kepemilikan tanah komunal terpecah, dan otoritas lokal seperti kepala desa sering dipaksa untuk mendukung kepentingan kolonial, melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin adat.

4. Kondisi Kesehatan dan Pendidikan yang Buruk

Masalah sosial lainnya adalah akses terbatas terhadap kesehatan dan pendidikan. Cultuurstelsel meninggalkan warisan kelaparan dan malnutrisi, yang berlanjut pada 1870-an karena fokus ekonomi pada tanaman ekspor mengurangi produksi pangan lokal. Penyakit seperti malaria dan disentri merajalela di daerah perkebunan, di mana kondisi sanitasi buruk. Menurut ResearchGate, deteriorasi sosial-ekonomi di Jawa pada periode ini sangat terasa, kecuali di daerah tertentu seperti Besuki dan Kebumen yang kurang terdampak perkebunan.

Pendidikan bagi pribumi hampir tidak ada. Sekolah-sekolah yang didirikan oleh Belanda, seperti di Batavia, hanya melayani anak-anak Eropa atau elit lokal yang bekerja untuk kolonial. Akibatnya, tingkat melek huruf di kalangan pribumi sangat rendah, memperkuat kesenjangan sosial dan membatasi mobilitas ekonomi.

5. Eksploitasi Perempuan dan Anak

Perempuan dan anak-anak pribumi sering menjadi korban eksploitasi di perkebunan. Menurut Academia.edu, tenaga kerja perempuan dan anak-anak digunakan untuk tugas-tugas seperti panen gula atau kopi, dengan upah yang jauh lebih rendah dibandingkan laki-laki. Kondisi kerja yang berat dan jam kerja yang panjang menyebabkan masalah kesehatan kronis, sementara perempuan juga menghadapi risiko pelecehan dari pengawas perkebunan.

6. Ketegangan Sosial dan Awal Perlawanan

Ketimpangan dan eksploitasi memicu ketegangan sosial yang kadang-kadang berujung pada perlawanan. Meskipun perlawanan terorganisir seperti Pemberontakan Diponegoro (1825–1830) telah mereda, ketidakpuasan terhadap Belanda tetap ada. Menurut Medium.com, eksploitasi dan penindasan kolonial menjadi alasan utama kebencian masyarakat pribumi. Pada 1870-an, perlawanan bersifat lokal dan sporadis, seperti penolakan petani untuk bekerja di perkebunan atau pelarian buruh ke daerah terpencil. Namun, benih nasionalisme mulai muncul, yang kemudian terwujud dalam organisasi seperti Budi Utomo pada 1908.

Faktor Penyebab Masalah Sosial

Masalah sosial pada 1870-an memiliki beberapa faktor penyebab utama:

  1. Kebijakan Kolonial Eksploitatif: Cultuurstelsel dan Kebijakan Liberal memprioritaskan keuntungan Belanda di atas kesejahteraan pribumi, menyebabkan kemiskinan dan penggusuran tanah.

  2. Ketimpangan Struktural: Hierarki rasial dan ekonomi yang diterapkan Belanda memperdalam kesenjangan antara Eropa, Tionghoa, dan pribumi.

  3. Fokus pada Ekonomi Ekspor: Produksi tanaman ekspor mengorbankan pertanian pangan, menyebabkan kelaparan dan malnutrisi.

  4. Kurangnya Infrastruktur Sosial: Minimnya investasi dalam kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan masyarakat pribumi memperburuk kondisi sosial.

  5. Pengabaian Hak Adat: Kebijakan seperti domein verklaring merusak sistem kepemilikan tanah tradisional, melemahkan struktur sosial masyarakat.

Dampak Masalah Sosial

Masalah sosial pada 1870-an memiliki dampak jangka panjang terhadap masyarakat Indonesia:

  • Kemiskinan Generasional: Kemiskinan struktural yang diwariskan dari Cultuurstelsel berlanjut hingga abad ke-20, sebagaimana dicatat dalam postingan X oleh @m6epan.

  • Kesenjangan Sosial-Ekonomi: Ketimpangan rasial dan ekonomi menciptakan ketegangan antar kelompok etnis, yang kadang-kadang berlanjut hingga masa kemerdekaan.

  • Erosi Budaya Lokal: Penggusuran tanah dan eksploitasi melemahkan tradisi adat, seperti sistem komunal di desa-desa Jawa.

  • Awal Kesadaran Nasional: Ketidakpuasan terhadap Belanda memicu kesadaran kolektif yang menjadi cikal bakal gerakan nasionalisme pada abad berikutnya.

  • Kerusakan Lingkungan: Perkebunan besar menyebabkan deforestasi dan degradasi tanah, yang berdampak pada produktivitas pertanian jangka panjang.

Upaya dan Respons terhadap Masalah Sosial

Meskipun perlawanan terorganisir masih terbatas pada 1870-an, beberapa respons mulai muncul:

  • Kritik dari Dalam Kolonial: Beberapa pejabat Belanda, seperti Eduard Douwes Dekker (penulis Max Havelaar pada 1860), mengkritik eksploitasi Cultuurstelsel, memengaruhi opini publik di Belanda dan mendorong penghapusan sistem tersebut.

  • Perlawanan Lokal: Petani di Jawa dan Sumatra kadang-kadang melakukan sabotase kecil, seperti membakar tanaman perkebunan atau melarikan diri dari kerja paksa.

  • Peran Organisasi Kemanusiaan: Menurut ResearchGate, Palang Merah Belanda (Bataviaasch Committee) mulai beroperasi pada 1870-an, memberikan bantuan terbatas kepada masyarakat yang terdampak kelaparan atau bencana.

  • Kebijakan Liberal: Meskipun bermasalah, Kebijakan Liberal menghapus beberapa praktik paling eksploitatif dari Cultuurstelsel, seperti pemaksaan produksi ekspor, sebagaimana dijelaskan dalam EBSCO.

Namun, respons ini masih terbatas dan tidak cukup untuk mengatasi akar masalah sosial yang mendalam.

Prospek dan Warisan

Masalah sosial pada 1870-an meninggalkan warisan yang signifikan:

  • Ketimpangan yang Berlanjut: Kesenjangan sosial-ekonomi yang diciptakan oleh kebijakan kolonial berlanjut hingga masa kemerdekaan, memengaruhi struktur masyarakat Indonesia modern.

  • Kesadaran Anti-Kolonial: Ketidakpuasan terhadap eksploitasi Belanda menjadi katalis bagi gerakan nasionalisme pada awal abad ke-20, seperti berdirinya Budi Utomo pada 1908.

  • Tantangan Reforma Agraria: Prinsip domein verklaring terus mempersulit pengakuan hak tanah adat hingga abad ke-21, sebagaimana dijelaskan dalam Inside Indonesia.

  • Kontribusi pada Studi Sejarah: Penelitian modern, seperti yang diterbitkan oleh Springer dan Taylor & Francis, menyoroti dampak jangka panjang kolonialisme terhadap ketimpangan regional dan perkembangan ekonomi di Indonesia.

Pada Mei 2025, masalah sosial pada 1870-an tetap relevan sebagai pengingat akan dampak kolonialisme terhadap struktur sosial dan ekonomi. Studi sejarah ini membantu memahami akar ketimpangan modern dan mendorong kebijakan yang lebih inklusif untuk mengatasi warisan kolonial.

Kesimpulan

Pada tahun 1870-an, Indonesia di bawah kolonial Belanda menghadapi masalah sosial yang kompleks, termasuk kemiskinan struktural, ketimpangan rasial, penggusuran tanah, kondisi kesehatan dan pendidikan yang buruk, eksploitasi perempuan dan anak, serta ketegangan sosial yang memicu perlawanan awal. Masalah ini berakar dari kebijakan eksploitatif seperti Cultuurstelsel dan Kebijakan Liberal, yang memprioritaskan keuntungan kolonial di atas kesejahteraan pribumi. Undang-Undang Agraria 1870, meskipun dimaksudkan untuk memodernisasi ekonomi, memperburuk penggusuran tanah dan ketimpangan melalui prinsip domein verklaring.

Dampak masalah sosial ini terasa hingga generasi berikutnya, membentuk kesenjangan ekonomi, erosi budaya lokal, dan awal kesadaran anti-kolonial. Meskipun ada upaya terbatas seperti kritik dari pejabat Belanda dan bantuan kemanusiaan, solusi mendasar baru muncul pada abad ke-20. Dengan mempelajari masalah sosial pada 1870-an, kita dapat memahami tantangan historis yang membentuk Indonesia modern dan mengambil pelajaran untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan inklusif.

Sumber: Informasi dalam artikel ini bersumber dari Indonesia Investments (www.indonesia-investments.com), Britannica (www.britannica.com), MIT News (news.mit.edu, 2020), Georgetown Journal of International Affairs (gjia.georgetown.edu, 2020), Inside Indonesia (www.insideindonesia.org, 2020), CEPR (cepr.org, 2022), University of Wollongong (ro.uow.edu.au), ResearchGate (www.researchgate.net), Semantics Scholar (pdfs.semanticscholar.org), EBSCO (www.ebsco.com), Academia.edu (www.academia.edu), dan postingan di X oleh @m6epan (2022). Untuk detail lebih lanjut, kunjungi sumber-sumber tersebut atau perpustakaan akademik seperti Springer (link.springer.com) dan Taylor & Francis (www.tandfonline.com).

BACA JUGA: Perkembangan Teknologi Militer Turki: Dari Modernisasi hingga Kemandirian Strategis

BACA JUGA: Perjalanan Karier Hingga Debut Besar BTS (Bangtan Sonyeondan): Dari Agensi Kecil Menuju Ikon Global

BACA JUGA: Perjalanan Karier Hingga Debut Besar Johnny Depp: Dari Musisi Amatir Menuju Ikon Hollywood

 

 

 

 

Tags