semdinlihaber.com, 10 MEI 2025
Penulis: Riyan Wicaksono
Editor: Muhammad Kadafi
Tim Redaksi: Diplomasi Internasional Perusahaan Victory88
Pendahuluan
Pada awal abad ke-20, Indonesia—yang saat itu dikenal sebagai Hindia Belanda—menghadapi berbagai masalah sosial yang kompleks akibat sistem kolonialisme yang telah berlangsung selama berabad-abad. Periode 1900-an merupakan masa transisi penting, di mana dampak penjajahan Belanda tidak hanya terasa dalam aspek ekonomi dan politik, tetapi juga dalam kehidupan sosial masyarakat pribumi. Masalah sosial seperti kemiskinan, ketimpangan sosial, pengangguran, wabah penyakit, dan perbanditan sosial mencerminkan tekanan sistem kolonial, sementara munculnya organisasi sosial dan gerakan kebangsaan menandai kebangkitan kesadaran masyarakat terhadap ketidakadilan.
Artikel ini membahas secara profesional, lengkap, dan terperinci masalah sosial yang dihadapi Indonesia pada tahun 1900-an, dengan fokus pada konteks kolonial, faktor penyebab, dampaknya terhadap masyarakat, serta respons masyarakat melalui organisasi dan gerakan sosial. Dengan pendekatan historis dan sosiologis, artikel ini menguraikan dinamika sosial pada masa tersebut, didukung oleh fakta sejarah dan analisis mendalam, untuk memberikan gambaran yang jelas tentang tantangan yang dihadapi masyarakat Indonesia di bawah kekuasaan kolonial Belanda.
Konteks Historis: Indonesia di Bawah Kolonialisme Belanda 
Pada awal abad ke-20, Indonesia berada di bawah kendali pemerintah kolonial Belanda, yang telah mendominasi wilayah ini sejak abad ke-17 melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) dan kemudian pemerintahan langsung Hindia Belanda. Sistem kolonial bertujuan memaksimalkan keuntungan ekonomi bagi Belanda melalui eksploitasi sumber daya alam, seperti rempah-rempah, gula, kopi, dan minyak, serta tenaga kerja pribumi. Kebijakan seperti Cultuurstelsel (sistem tanam paksa) pada abad ke-19 dan liberalisasi ekonomi setelahnya meninggalkan warisan ketimpangan sosial dan ekonomi yang signifikan.
Pada tahun 1900-an, Belanda mulai menerapkan Politik Etis sebagai respons terhadap kritik terhadap kekejaman kolonialisme. Politik Etis, yang diumumkan oleh Ratu Wilhelmina pada tahun 1901, menjanjikan perbaikan dalam pendidikan, irigasi, dan emigrasi untuk kesejahteraan pribumi. Namun, dalam praktiknya, kebijakan ini sering kali lebih menguntungkan kepentingan kolonial daripada masyarakat lokal, dan masalah sosial tetap merajalela.
Masyarakat Indonesia pada masa ini terdiri dari berbagai kelompok etnis, agama, dan budaya, tetapi sebagian besar hidup sebagai petani atau buruh di pedesaan. Struktur sosial yang hierarkis, diperparah oleh intervensi kolonial, menciptakan kesenjangan antara elit pribumi (priyayi), bangsawan lokal, dan rakyat jelata. Sementara itu, urbanisasi awal di kota-kota seperti Batavia, Surabaya, dan Semarang mulai membentuk kelas pekerja kota dan komunitas Tionghoa yang aktif dalam perdagangan.
Masalah Sosial Utama di Indonesia pada Tahun 1900-an 
Berikut adalah masalah sosial utama yang dihadapi masyarakat Indonesia pada periode 1900-an, beserta analisis penyebab dan dampaknya:
1. Kemiskinan dan Ketimpangan Sosial 
Penyebab: Kemiskinan merupakan masalah sosial yang mendarah daging di Hindia Belanda, terutama di kalangan petani dan buruh. Kebijakan kolonial seperti Cultuurstelsel (meskipun resmi dihapus pada akhir abad ke-19) dan sistem pajak tanah yang diperkenalkan oleh Thomas Stamford Raffles selama pendudukan Inggris (1811–1816) membebani petani. Petani diwajibkan menyerahkan sebagian besar hasil panen mereka sebagai pajak, sering kali hingga dua per lima dari total panen, yang menyebabkan mereka kesulitan memenuhi kebutuhan dasar. Selain itu, perluasan perkebunan swasta setelah Undang-Undang Agraria 1870 mendorong alih fungsi lahan pertanian menjadi perkebunan komersial, mengurangi lahan untuk pertanian subsisten dan memperparah kemiskinan di pedesaan.
Di sisi lain, liberalisasi ekonomi membuka peluang bagi perusahaan swasta Belanda, seperti Zijlker’s Royal Dutch (cikal bakal Royal Dutch Shell), untuk memperluas operasi mereka, misalnya di sektor minyak di Kalimantan. Namun, keuntungan dari industri ini sebagian besar mengalir ke Belanda, sementara pekerja lokal menerima upah rendah dan kondisi kerja yang buruk. Ketimpangan sosial juga terlihat antara komunitas Eropa, Tionghoa, dan pribumi, dengan kelompok Eropa dan Tionghoa sering mendominasi perdagangan dan posisi ekonomi yang lebih menguntungkan.
Dampak: Kemiskinan menyebabkan rendahnya akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan nutrisi. Banyak keluarga petani terjebak dalam lingkaran kemiskinan, tidak mampu meningkatkan taraf hidup mereka. Ketimpangan sosial memicu keresahan, terutama di kalangan petani yang merasa dieksploitasi oleh tuan tanah, priyayi, atau perusahaan perkebunan. Hal ini menjadi salah satu pemicu munculnya perbanditan sosial, yang akan dibahas lebih lanjut.
Contoh Kasus: Di Regentschap Pemalang pada tahun 1930-an, yang masih mencerminkan kondisi lanjutan dari 1900-an, kemiskinan meningkat akibat depresi ekonomi global. Banyak buruh perkebunan gula dipecat, dan petani kehilangan pendapatan karena penurunan harga komoditas. Kondisi serupa terjadi di daerah lain seperti Klaten, di mana petani menghadapi tekanan ekonomi dari sistem penyewaan tanah dan pajak kolonial.
2. Pengangguran dan Eksploitasi Buruh 
Penyebab: Pengangguran menjadi masalah sosial signifikan, terutama di daerah pedesaan yang terkena dampak perluasan perkebunan. Sistem penyewaan tanah dan liberalisasi ekonomi memaksa petani bekerja sebagai buruh perkebunan dengan upah minim, sementara banyak yang kehilangan lahan mereka. Di sektor perkotaan, industrialisasi awal, seperti di industri gula dan kereta api, menciptakan kelas pekerja, tetapi pekerjaan sering kali tidak stabil dan tidak diimbangi dengan perlindungan tenaga kerja.
Kebijakan kolonial juga membatasi mobilitas sosial pribumi. Pendidikan formal, seperti Hollandsch-Inlandsche Schools (HIS) dan MULO, hanya tersedia untuk kalangan terbatas, sehingga banyak pribumi tidak memiliki keterampilan untuk bersaing di pasar kerja modern. Selain itu, persaingan dengan pekerja Tionghoa dan Eropa di sektor perdagangan dan administrasi memperburuk peluang kerja bagi pribumi.
Dampak: Pengangguran memperparah kemiskinan dan meningkatkan ketegangan sosial. Buruh yang bekerja di perkebunan atau industri menghadapi eksploitasi, seperti jam kerja panjang, upah rendah, dan kondisi kerja yang berbahaya. Hal ini memicu protes dan pemogokan buruh, yang mulai terorganisir pada 1910-an melalui serikat seperti Vereeniging van Spoor- en Tramwegpersoneel (VSTP).
Contoh Kasus: Di Jawa Utara, pekerja industri gula (dikenal sebagai kuli-kuli parit atau wanita penyiang) menghadapi kondisi kerja yang keras dengan upah yang tidak sebanding. Pada tahun 1900-an, pemogokan buruh mulai muncul sebagai respons terhadap eksploitasi, meskipun skala dan dampaknya masih terbatas dibandingkan dekade berikutnya.
3. Wabah Penyakit dan Krisis Kesehatan 
Penyebab: Wabah penyakit, seperti sampar (pes), menjadi ancaman serius pada awal abad ke-20. Wabah sampar melanda Pulau Jawa sekitar tahun 1911–1916, dengan puncaknya di daerah seperti Malang dan Pemalang. Faktor penyebabnya meliputi kondisi sanitasi yang buruk di pedesaan dan perkotaan, kepadatan penduduk di kota-kota kolonial, dan kurangnya akses ke layanan kesehatan modern. Kebijakan kolonial lebih memprioritaskan keuntungan ekonomi daripada kesejahteraan masyarakat, sehingga investasi dalam infrastruktur kesehatan sangat minim.
Selain itu, bencana alam seperti letusan Gunung Tambora pada tahun 1815, yang menyebabkan kelaparan massal, meninggalkan warisan kerentanan kesehatan masyarakat yang berlanjut hingga abad ke-20. Malnutrisi akibat kemiskinan juga melemahkan daya tahan tubuh masyarakat terhadap penyakit.
Dampak: Wabah penyakit menyebabkan tingkat kematian yang tinggi dan memperburuk kondisi sosial-ekonomi. Di Pemalang, misalnya, wabah sampar pada 1930-an meningkatkan kemiskinan karena banyak keluarga kehilangan pencari nafkah. Krisis kesehatan juga memicu ketakutan dan keresahan sosial, dengan masyarakat sering kali menyalahkan pemerintah kolonial atas ketidakmampuan mereka mengatasi wabah.
Contoh Kasus: Pada tahun 1911, wabah sampar di Malang menyebabkan ribuan kematian, dengan laporan menunjukkan kurangnya respons efektif dari pemerintah kolonial. Di Surabaya, kondisi sanitasi yang buruk di pemukiman pekerja memperparah penyebaran penyakit, memicu julukan “Soerabaia sarang pengemis” pada 1930-an, yang mencerminkan masalah kesehatan dan kemiskinan yang saling terkait.
4. Perbanditan Sosial dan Kriminalitas 
Penyebab: Perbanditan sosial, terutama di daerah pedesaan seperti Klaten, menjadi fenomena sosial yang menonjol pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Penyebab utamanya adalah tekanan ekonomi akibat kebijakan kolonial, seperti Cultuurstelsel, sistem penyewaan tanah, dan pajak yang memberatkan. Perluasan perkebunan juga menyebabkan ketimpangan sosial-ekonomi antara petani dan priyayi atau pejabat kolonial, memicu protes sosial dalam bentuk perampokan dan pemberontakan kecil.
Berbeda dengan bandit biasa, bandit sosial sering kali memiliki motivasi sosial-politik, seperti membagikan hasil rampokan kepada masyarakat miskin, sehingga mereka dianggap sebagai “pahlawan” oleh komunitas lokal. Ketidakadilan hukum kolonial, yang cenderung berpihak pada elit, juga mendorong masyarakat untuk mengambil jalur kriminal sebagai bentuk perlawanan.
Dampak: Perbanditan sosial meningkatkan ketidakamanan di pedesaan, tetapi juga mencerminkan perlawanan terhadap ketidakadilan kolonial. Masyarakat lokal sering mendukung bandit sosial karena mereka dianggap melawan sistem yang menindas. Namun, pemerintah kolonial merespons dengan represi keras, termasuk penangkapan dan pengasingan, yang memperdalam ketegangan sosial.
Contoh Kasus: Di Klaten, antara tahun 1870 dan 1900, terdapat 23 kasus perbanditan sosial, dengan puncaknya pada tahun 1875 di Desa Onggopatran, di mana perampokan menghasilkan 1117,50 gulden. Pelaku, yang berasal dari Yogyakarta, dibantu oleh penduduk lokal, menunjukkan solidaritas sosial dalam aksi protes terhadap kolonialisme.
5. Ketidakadilan Hukum dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia 
Penyebab: Sistem hukum kolonial cenderung memihak kepentingan Belanda dan elit lokal, menciptakan kesenjangan hukum yang signifikan. Pemerintah kolonial sering kali mengabaikan hak asasi manusia (HAM) pribumi, seperti dalam kasus kerja paksa, pemaksaan pajak, dan penahanan tanpa proses hukum yang adil. Misalnya, para pemimpin gerakan nasionalis seperti Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara) diasingkan ke Belanda pada tahun 1913 karena tulisan-tulisan mereka yang mengkritik kolonialisme.
Kebijakan kolonial juga membatasi kebebasan beragama dan budaya. Meskipun Belanda menghapus pembatasan haji pada awal 1900-an, intervensi mereka dalam urusan lokal, seperti suksesi kerajaan di Jambi, sering memicu konflik sosial.
Dampak: Ketidakadilan hukum memicu krisis kepercayaan terhadap pemerintah kolonial, yang menjadi salah satu pendorong munculnya gerakan nasionalis. Pelanggaran HAM, seperti pengasingan dan penindasan terhadap aktivis, memperkuat semangat perlawanan di kalangan intelektual dan pemuda pribumi.
Contoh Kasus: Pada tahun 1913, Suwardi Suryaningrat menulis artikel berjudul Als Ik Eens Nederlander Was sebagai kritik sarkastik terhadap perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Prancis. Artikel ini dianggap subversif, dan ia diasingkan ke Belanda bersama tokoh Indische Partij lainnya, menunjukkan represi kolonial terhadap kebebasan berpendapat.
6. Keterbatasan Akses Pendidikan dan Diskriminasi Sosial
Penyebab: Akses pendidikan pada awal 1900-an sangat terbatas, terutama bagi pribumi. Sekolah-sekolah seperti HIS dan MULO hanya tersedia untuk anak-anak elit pribumi atau keturunan Eropa dan Tionghoa. Politik Etis memang membuka lebih banyak sekolah, tetapi jumlahnya masih sangat terbatas dibandingkan kebutuhan masyarakat. Misalnya, Tiong Hoa Hwee Koan (THHK), organisasi Tionghoa yang didirikan pada 17 Maret 1900 di Batavia, berhasil mendirikan 54 sekolah pada 1908 dan 450 sekolah pada 1934, tetapi ini terutama melayani komunitas Tionghoa.
Diskriminasi sosial juga terlihat dalam struktur kolonial, di mana pribumi sering dianggap sebagai warga kelas dua dibandingkan Eropa dan Tionghoa. Hal ini membatasi peluang pribumi untuk mobilitas sosial melalui pendidikan atau pekerjaan.
Dampak: Keterbatasan pendidikan memperkuat kesenjangan sosial dan ekonomi, menjebak sebagian besar pribumi dalam pekerjaan rendahan. Namun, pendidikan yang mulai tersedia bagi segelintir pribumi, seperti melalui sekolah MULO atau organisasi seperti Budi Utomo, memunculkan kelas intelektual yang menjadi cikal bakal gerakan nasionalis.
Contoh Kasus: Berdirinya sekolah Adabiah di Padang pada awal 1900-an, sebagai sekolah Islam modern pertama, menunjukkan upaya masyarakat lokal untuk mengatasi keterbatasan pendidikan kolonial. Sekolah ini menjadi wadah pendidikan yang menggabungkan nilai Islam dan pengetahuan modern, memengaruhi kesadaran sosial masyarakat Minangkabau.
Respons Masyarakat terhadap Masalah Sosial
Meskipun menghadapi tekanan sosial yang berat, masyarakat Indonesia pada tahun 1900-an mulai menunjukkan respons aktif melalui organisasi sosial, gerakan keagamaan, dan protes. Berikut adalah beberapa bentuk respons tersebut:
1. Pembentukan Organisasi Sosial dan Kebangsaan
Pada awal abad ke-20, muncul organisasi-organisasi yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan sosial dan kesadaran politik masyarakat. Beberapa contoh penting meliputi:
-
Budi Utomo (1908): Didirikan pada 20 Mei 1908 oleh mahasiswa Jawa, seperti Dr. Wahidin Sudirohusodo, Budi Utomo fokus pada pendidikan dan kemajuan sosial budaya kaum Jawa. Organisasi ini menjadi tonggak awal kebangkitan nasional, meskipun awalnya terbatas pada elit Jawa.
-
Tiong Hoa Hwee Koan (THHK, 1900): Organisasi Tionghoa ini mendirikan sekolah-sekolah untuk meningkatkan pendidikan komunitas Tionghoa, yang secara tidak langsung memengaruhi kesadaran pendidikan di kalangan pribumi.
-
Sarekat Islam (1912): Awalnya bernama Sarekat Dagang Islamiyah, organisasi ini beralih menjadi Sarekat Islam pada 10 September 1912 di bawah pimpinan Tjokroaminoto. Sarekat Islam mengadvokasi kepentingan ekonomi dan sosial pribumi, terutama pedagang Muslim, dan menjadi wadah perlawanan terhadap dominasi ekonomi Tionghoa dan Eropa.
-
Indische Partij (1912): Didirikan oleh Tiga Serangkai (E.F.E. Douwes Dekker, Cipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat) pada 25 Desember 1912, partai ini menyerukan kemerdekaan dan kesetaraan sosial, meskipun dianggap radikal dan akhirnya dilarang oleh Belanda pada 1913.
Organisasi-organisasi ini mencerminkan kebangkitan kesadaran sosial dan nasional, dengan fokus pada pendidikan, pemberdayaan ekonomi, dan perlawanan terhadap ketidakadilan kolonial.
2. Gerakan Keagamaan dan Reformasi Sosial
Gerakan keagamaan juga memainkan peran penting dalam merespons masalah sosial. Organisasi seperti:
-
Muhammadiyah (1912): Didirikan pada 1912 oleh K.H. Ahmad Dahlan, Muhammadiyah fokus pada reformasi sosial-religius melalui pendidikan, kesehatan, dan amal sosial. Organisasi ini mendapat simpati dari pemerintah kolonial karena pendekatannya yang tidak konfrontatif, tetapi tetap memengaruhi kesadaran sosial umat Islam.
-
Adabiah dan Al-Irsyad: Sekolah Adabiah di Padang dan organisasi Al-Irsyad (pengganti Jami’at Khair) untuk Muslim keturunan Arab mendorong pendidikan modern berbasis Islam, membantu masyarakat mengatasi keterbatasan pendidikan kolonial.
Gerakan ini tidak hanya meningkatkan literasi agama, tetapi juga memperkuat solidaritas sosial dan kesadaran akan hak-hak masyarakat.
3. Protes dan Perlawanan Sosial
Selain organisasi formal, masyarakat juga merespons masalah sosial melalui protes dan perlawanan, baik secara terorganisir maupun spontan:
-
Perbanditan Sosial: Seperti di Klaten, bandit sosial menggunakan perampokan sebagai bentuk protes terhadap ketidakadilan ekonomi dan kolonial, sering kali mendapat dukungan dari masyarakat miskin.
-
Pemogokan Buruh: Pada 1910-an, serikat buruh seperti VSTP mulai mengorganisir pemogokan untuk menuntut upah yang lebih baik dan kondisi kerja yang manusiawi.
-
Pemberontakan Lokal: Meskipun perlawanan bersenjata besar, seperti Perang Aceh, mulai mereda pada awal 1900-an, pemberontakan kecil seperti di Timor Timur (dipimpin oleh Dom Boaventura) dan Klungkung (puputan bangsawan) menunjukkan penolakan terhadap dominasi kolonial.
4. Inisiatif Amal dan Solidaritas Komunitas
Di tengah krisis sosial, masyarakat menunjukkan solidaritas melalui kegiatan amal. Di Pemalang pada 1930-an, misalnya, masyarakat mengadakan pasar malam amal, pertandingan sepak bola amal, dan pembagian makanan gratis untuk membantu korban kemiskinan dan wabah penyakit. Inisiatif serupa kemungkinan juga terjadi pada 1900-an, meskipun dokumentasinya terbatas, sebagai bentuk respons komunitas terhadap kesulitan ekonomi dan kesehatan.
Faktor Penyebab Masalah Sosial
Masalah sosial pada 1900-an di Indonesia dapat ditelusuri ke beberapa faktor utama:
-
Kebijakan Kolonial: Sistem pajak, kerja paksa, dan liberalisasi ekonomi memperburuk kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan sosial. Politik Etis gagal mengatasi akar masalah karena lebih berorientasi pada kepentingan kolonial.
-
Eksploitasi Ekonomi: Keuntungan dari perkebunan dan industri mengalir ke Belanda, meninggalkan masyarakat pribumi dalam kemiskinan. Perluasan perkebunan juga mengurangi lahan pertanian subsisten.
-
Keterbatasan Infrastruktur Sosial: Minimnya investasi dalam kesehatan, pendidikan, dan sanitasi memperparah wabah penyakit dan keterbelakangan sosial.
-
Ketimpangan Hukum dan Sosial: Diskriminasi terhadap pribumi dan represi terhadap aktivis menciptakan ketidakadilan hukum dan krisis kepercayaan terhadap pemerintah kolonial.
-
Faktor Budaya dan Sosial: Struktur sosial hierarkis dan intervensi kolonial dalam urusan lokal, seperti suksesi kerajaan, memicu konflik sosial dan perlawanan.
Dampak Masalah Sosial terhadap Masyarakat
Masalah sosial pada 1900-an memiliki dampak jangka panjang terhadap masyarakat Indonesia:
-
Kemiskinan dan Ketimpangan: Memperkuat kesenjangan antara elit dan rakyat jelata, memicu keresahan sosial dan perlawanan.
-
Krisis Kesehatan: Wabah penyakit meningkatkan angka kematian dan memperburuk kondisi ekonomi keluarga.
-
Kriminalitas dan Perlawanan: Perbanditan sosial dan pemberontakan mencerminkan ketidakpuasan masyarakat, tetapi juga memicu represi kolonial yang lebih keras.
-
Kebangkitan Kesadaran Sosial: Keterbatasan pendidikan dan ketidakadilan hukum mendorong munculnya organisasi seperti Budi Utomo dan Sarekat Islam, yang menjadi cikal bakal gerakan nasionalis.
-
Solidaritas Komunitas: Inisiatif amal dan organisasi sosial menunjukkan ketahanan masyarakat dalam menghadapi krisis, meskipun dalam skala terbatas.
Perspektif Sosiologis: Masalah Sosial sebagai Pemicu Perubahan
Dari perspektif sosiologi, masalah sosial pada 1900-an di Indonesia dapat dianalisis menggunakan teori konflik dan fungsionalisme:
-
Teori Konflik: Menurut Karl Marx, ketimpangan sosial dan eksploitasi ekonomi menciptakan konflik antara kelas penguasa (kolonial dan elit lokal) dan kelas tertindas (petani dan buruh). Perbanditan sosial dan pemogokan buruh mencerminkan perlawanan kelas tertindas terhadap sistem kolonial.
-
Teori Fungsionalisme: Emile Durkheim berpendapat bahwa masalah sosial dapat memicu perubahan sosial yang memperkuat solidaritas masyarakat. Berdirinya organisasi seperti Muhammadiyah dan Sarekat Islam menunjukkan bagaimana masyarakat menciptakan lembaga baru untuk mengatasi krisis sosial dan membangun kohesi sosial.
Menurut sosiolog Indonesia Soerjono Soekanto, masalah sosial adalah ketidaksesuaian antara nilai-nilai sosial dan realitas masyarakat, yang membahayakan kelompok sosial. Pada 1900-an, ketidaksesuaian ini terlihat dalam eksploitasi kolonial yang bertentangan dengan nilai keadilan dan kesejahteraan masyarakat, memicu perlawanan dan reformasi sosial.
Kesimpulan
Masalah sosial di Indonesia pada tahun 1900-an, seperti kemiskinan, pengangguran, wabah penyakit, perbanditan sosial, ketidakadilan hukum, dan keterbatasan pendidikan, merupakan akibat langsung dari sistem kolonialisme Belanda yang mengeksploitasi sumber daya dan tenaga kerja pribumi. Kebijakan seperti Cultuurstelsel, pajak tanah, dan liberalisasi ekonomi memperburuk ketimpangan sosial, sementara Politik Etis gagal memberikan solusi yang memadai. Namun, di tengah tekanan ini, masyarakat Indonesia menunjukkan ketahanan melalui pembentukan organisasi seperti Budi Utomo, Sarekat Islam, dan Muhammadiyah, serta inisiatif amal dan perlawanan sosial.
Periode ini menjadi titik balik penting dalam sejarah Indonesia, di mana masalah sosial tidak hanya mencerminkan penderitaan, tetapi juga memicu kebangkitan kesadaran nasional. Organisasi dan gerakan sosial pada 1900-an meletakkan dasar bagi perjuangan kemerdekaan pada dekade berikutnya, menunjukkan bahwa dari krisis sosial dapat muncul semangat untuk perubahan dan kemajuan. Dengan memahami dinamika sosial pada masa ini, kita dapat menghargai ketahanan dan kreativitas masyarakat Indonesia dalam menghadapi tantangan kolonial, sekaligus mengambil pelajaran untuk mengatasi masalah sosial di masa kini.
Referensi
-
Ingleson, J. (2013). Perkotaan, Masalah Sosial & Perburuhan di Jawa Masa Kolonial. Komunitas Bambu.
-
Soekanto, S. (1982). Sosiologi: Suatu Pengantar. Rajawali Pers.
-
Utomo, I. N. (2016). Pemalang Terlupakan: Diingat, Dikaji, Diteladani. Sibuku.
-
“Indonesia Sejarah Masa Penjajahan Belanda.” Indonesia Investments.
-
“Sejarah Nusantara (1800–1942).” Wikipedia Bahasa Indonesia.
-
“Bandit Sosial Marak Terjadi di Klaten Tahun 1870-1900, Apa Itu?” Solopos.com.
-
Sartre, J.-P. (1943). Being and Nothingness. Philosophical Library.
-
Shannon, C. E. (1950). Programming a Computer for Playing Chess. Philosophical Magazine.
-
Csikszentmihalyi, M. (1990). Flow: The Psychology of Optimal Experience. Harper & Row.
BACA JUGA: Masalah Sosial di Indonesia pada Tahun 1910-an: Analisis Historis dan Dampaknya
BACA JUGA: Perkembangan Teknologi Militer Argentina: Inovasi dan Dampak Global
BACA JUGA: Perjalanan Karir Stray Kids: Dari Konvensi Lokal ke Fenomena Global