Tahun 2025 ternyata jadi tahun yang cukup berat buat ekonomi Indonesia, guys. Analisis Krisis Biaya Hidup dan Dampaknya di Indonesia ini bakal ngajak kalian untuk paham kenapa banyak Gen Z yang makin susah nabung, kenapa orang tua kita jadi sering ngomongin soal “zaman sekarang mahal banget,” dan gimana sih sebenarnya kondisi ekonomi kita yang katanya stabil tapi terasa nggak stabil-stabil amat?
Yang bikin menarik, di awal 2025 Indonesia mengalami deflasi pertama dalam 25 tahun terakhir—hal yang terdengar bagus tapi ternyata jadi tanda bahwa daya beli kita lagi turun drastis. Data dari berbagai lembaga resmi menunjukkan bahwa kelas menengah Indonesia sedang dalam tekanan besar, PHK massal melanda berbagai sektor, dan biaya hidup terus naik meski upah nggak sejalan.
Daftar Isi:
- Fenomena Deflasi 2025: Bukan Kabar Baik
- PHK Massal Melanda Indonesia: Angka yang Mengkhawatirkan
- Kelas Menengah Indonesia Tertekan: Data BPS
- Biaya Hidup di Indonesia: Jakarta vs Kota Lain
- Kesenjangan Ekonomi yang Makin Melebar
- Dampak untuk Gen Z: Dari Sulit Kerja hingga Susah Nabung
1. Fenomena Deflasi 2025: Bukan Kabar Baik

Kebanyakan orang mikir deflasi itu bagus karena harga turun, kan? Ternyata salah besar! Februari 2025 mencatat deflasi tahunan sebesar 0,09 persen—kondisi yang terakhir terjadi 25 tahun lalu. Ini bukan karena pemerintah berhasil stabilkan harga, tapi karena masyarakat nggak punya daya beli.
Deflasi di Januari dan Februari 2025 menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia menghadapi tekanan baik eksternal maupun domestik. Yang bikin concern adalah hampir 14.000 pekerja formal kehilangan pekerjaan di awal 2025 akibat penurunan di sektor manufaktur.
Kenapa deflasi berbahaya? Karena ini mencerminkan ekonomi yang lesu. Konsumsi turun, produksi menurun, dan ujung-ujungnya perusahaan melakukan PHK untuk bertahan hidup.
Menariknya, inflasi Oktober 2025 justru naik menjadi 2,86 persen, menunjukkan volatilitas ekonomi yang tinggi sepanjang tahun ini.
Fakta Menarik: Deflasi sering dianggap lebih berbahaya daripada inflasi karena bisa memicu resesi berkepanjangan dan meningkatkan beban utang riil.
2. PHK Massal Melanda Indonesia: Angka yang Mengkhawatirkan

Kalau kamu merasa banyak temen atau keluarga yang kehilangan pekerjaan tahun ini, feeling kamu nggak salah. Hingga 23 April 2025, sudah terdata sekitar 24 ribu pekerja terkena PHK—sepertiga dari jumlah PHK sepanjang tahun 2024.
Data lebih detail menunjukkan 60.000 pekerja terkena PHK pada dua bulan pertama 2025 menurut laporan KSPI, dengan Jawa Tengah mencatat 57,37% dari total PHK yang dilaporkan.
Sektor yang paling kena dampak:
- Manufaktur dan tekstil (Sritex saja mem-PHK 10.000+ karyawan)
- Elektronik dan alas kaki
- Makanan dan minuman
- Media dan komunikasi
Tujuh alasan utama PHK menurut Kemnaker: perusahaan rugi atau tutup, relokasi ke daerah dengan upah lebih murah, kondisi pasar ekspor melemah, balasan dari mogok kerja, efisiensi mencegah kerugian, transformasi perusahaan, dan perusahaan pailit.
Yang bikin prihatin, PHK melonjak 32,19% dibanding periode sama tahun lalu, dan trennya terus naik hingga pertengahan tahun.
Link Terkait: Analisis mendalam tentang kondisi ekonomi Indonesia
3. Kelas Menengah Indonesia Tertekan: Data BPS

Kelas menengah adalah tulang punggung ekonomi Indonesia—mereka yang punya daya beli stabil, konsumsi rutin, dan jadi target market berbagai produk. Tapi sekarang, kelas ini sedang mengalami tekanan berat.
Kekayaan 40 orang terkaya Indonesia melonjak 163 persen dalam sepuluh tahun terakhir, jauh melebihi pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 57 persen. Sementara itu, sekitar 9,5 juta orang dari kelas menengah telah turun kelas dalam lima tahun terakhir menurut data BPS.
Banyak kelas menengah menampilkan fenomena “duck syndrome”—terlihat stabil dan tenang di permukaan, tapi sebenarnya sangat kewalahan di bawahnya. Mereka berusaha keras menjaga penampilan stabilitas finansial meski dalam kenyataannya berjuang dengan berbagai tekanan ekonomi tersembunyi.
Indikator tekanan kelas menengah:
- Ketergantungan pada utang meningkat drastis
- Pinjaman melalui Pegadaian naik 25,83 persen, sementara pinjaman online naik 9,03 persen secara tahunan
- Daya beli terus menurun meski pendapatan stabil
Data BPS: 9,5 juta orang turun dari kelas menengah dalam 5 tahun terakhir—angka yang setara dengan populasi seluruh Bali!
4. Biaya Hidup di Indonesia: Jakarta vs Kota Lain

DKI Jakarta ditetapkan BPS sebagai daerah dengan biaya hidup paling mahal di Indonesia, dengan pengeluaran mencapai sekitar Rp14,88 juta per bulan untuk rumah tangga yang terdiri dari dua hingga enam orang.
Tiga provinsi dengan biaya hidup termahal 2025:
- DKI Jakarta – Rp14,88 juta/bulan
- Kepulauan Riau – Biaya tinggi karena posisi strategis perdagangan
- Kalimantan Timur – Dipengaruhi industri migas
Kabar baiknya? Indonesia masih menjadi negara dengan biaya hidup termurah di ASEAN per tahun 2025 dengan indeks 24,6, sementara Singapura tertinggi di angka 79,1.
Cilacap mencatat biaya hidup terendah di Indonesia dengan rata-rata Rp5,37 juta per bulan, diikuti Maumere (Rp5,52 juta) dan Sibolga (Rp5,68 juta).
Tips untuk Gen Z: Pertimbangkan kerja remote atau pindah ke kota tier-2 yang biaya hidupnya lebih rendah tapi peluang kerja tetap oke! Selisih biaya hidup antara Jakarta dan Cilacap bisa mencapai hampir 3x lipat—bayangkan berapa banyak yang bisa kamu save atau invest!
5. Kesenjangan Ekonomi yang Makin Melebar

Ini yang paling bikin miris. Material Power Index (MPI) Indonesia di 2024 tercatat di angka 1,263,381, menunjukkan bahwa kekayaan 40 orang terkaya setara dengan lebih dari sejuta kali kekayaan rata-rata orang biasa.
Kesenjangan ini punya dampak luas dalam konteks Analisis Krisis Biaya Hidup dan Dampaknya di Indonesia:
- Kebijakan publik cenderung menguntungkan elit ekonomi
- Kepentingan kelas menengah terpinggirkan
- Survey Democracy Perceptions Index 2024 menyatakan kesenjangan ekonomi dianggap sebagai ancaman terbesar bagi demokrasi
Morgan Stanley Capital International (MSCI) pada Februari 2025 mengeluarkan rekomendasi underweight untuk aset investasi Indonesia, diikuti Goldman Sachs yang menurunkan rating aset investasi Indonesia karena risiko fiskal meningkat.
Fakta Mengejutkan: Kesenjangan kekayaan di Indonesia termasuk yang tertinggi di Asia Tenggara, lebih tinggi dari Thailand dan Filipina.
6. Dampak untuk Gen Z: Dari Sulit Kerja hingga Susah Nabung
Sebagai Gen Z yang baru masuk dunia kerja atau masih kuliah, kalian merasakan langsung dampaknya dari Analisis Krisis Biaya Hidup dan Dampaknya di Indonesia ini:
Tantangan yang dihadapi:
- Kompetisi kerja makin ketat: PHK massal bikin senior level bersaing di entry-level
- Gaji entry-level stagnan: Kenaikan UMP 2025 hanya 6,5 persen, tidak sebanding dengan laju inflasi
- Side hustle jadi kebutuhan: Satu pekerjaan nggak cukup lagi
- Sulit nabung: Biaya hidup naik, pendapatan nggak naik signifikan
Strategi bertahan untuk Gen Z:
- Fokus skill development yang high-demand (digital marketing, data analytics, coding)
- Diversifikasi income stream—jangan cuma mengandalkan satu sumber penghasilan
- Pertimbangkan freelancing atau remote work untuk fleksibilitas dan potensi income lebih tinggi
- Living below your means—lifestyle adjust sama kondisi ekonomi
- Manfaatkan teknologi untuk efisiensi finansial (budgeting apps, investment platforms)
Yang menarik, probabilitas resesi Indonesia kurang dari 5% menurut data Bloomberg Februari 2025, jauh lebih rendah dibanding Meksiko (38%), Kanada (35%), dan Amerika Serikat (25%). Jadi meskipun kondisi ekonomi menantang, Indonesia masih relatif lebih stabil dibanding banyak negara lain.
Mindset Shift: Gen Z perlu mengubah mindset dari “mencari pekerjaan” menjadi “membangun karir yang anti-fragile”—karir yang nggak hanya survive tapi justru makin kuat saat ada krisis.
Baca Juga Masalah Sosial yang Diabaikan Pemerintah
Analisis Krisis Biaya Hidup dan Dampaknya di Indonesia menunjukkan bahwa tahun 2025 adalah periode yang penuh tantangan. Deflasi awal tahun, PHK massal yang mencapai puluhan ribu pekerja, tekanan pada kelas menengah, dan kesenjangan ekonomi yang melebar adalah realitas yang harus kita hadapi.
Tapi ini bukan berarti kita harus pesimis total. Data menunjukkan Indonesia masih punya fundamental yang lebih kuat dibanding banyak negara, biaya hidup kita masih termurah di ASEAN, dan pemerintah mulai aware dengan berbagai program seperti JKP untuk pekerja yang kena PHK.
Kunci menghadapi kondisi ini adalah: adaptasi, skill development, dan financial literacy. Gen Z punya advantage dalam teknologi dan fleksibilitas—manfaatkan itu untuk bertahan dan bahkan thrive di tengah krisis ini.
Yang penting adalah tetap update dengan data terkini, membuat keputusan finansial yang informed, dan terus mengembangkan skill yang relevan dengan pasar. Analisis Krisis Biaya Hidup dan Dampaknya di Indonesia ini bukan sekadar memahami masalahnya, tapi juga tentang menemukan solusi dan peluang di tengah tantangan.
Pertanyaan untuk diskusi: Dari keenam poin di atas, mana yang paling relate sama kondisi kamu sekarang? Atau ada pengalaman lain yang pengen kamu share terkait krisis biaya hidup ini? Drop di comment!