semdinlihaber.com, 2 MEI 2025
Penulis: Riyan Wicaksono
Editor: Muhammad Kadafi
Tim Redaksi: Diplomasi Internasional Perusahaan Victory88
Pendahuluan
Dekade 1970-an merupakan periode transformatif dalam sejarah Indonesia, ditandai dengan konsolidasi kekuasaan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto. Setelah masa turbulensi politik dan ekonomi pada 1960-an, Orde Baru berupaya membawa stabilitas melalui pembangunan ekonomi yang didukung oleh pendapatan minyak dan investasi asing. Namun, di balik kemajuan ekonomi yang signifikan, seperti pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) rata-rata 7-9% per tahun dan penurunan kemiskinan absolut, muncul berbagai masalah sosial yang mencerminkan ketidakseimbangan pembangunan. Masalah-masalah ini meliputi kemiskinan, ketimpangan sosial, korupsi, penindasan kebebasan, diskriminasi etnis, dan ketegangan agraria, yang semuanya membentuk lanskap sosial Indonesia pada masa itu.
Artikel ini menyajikan analisis profesional, lengkap, dan rinci tentang masalah sosial di Indonesia selama tahun 1970-an, dengan fokus pada konteks sejarah, faktor penyebab, dampak, dan respons pemerintah serta masyarakat. Dengan mengintegrasikan data historis, perspektif akademis, dan sumber terpercaya, artikel ini bertujuan memberikan gambaran menyeluruh tentang dinamika sosial di era Orde Baru awal.
Konteks Sejarah: Indonesia di Bawah Orde Baru 
Transisi dari Orde Lama ke Orde Baru
Pada pertengahan 1960-an, Indonesia menghadapi krisis ekonomi dan politik yang parah di bawah pemerintahan Soekarno. Hiperinflasi mencapai 592% pada 1965, ditambah dengan ketidakstabilan politik pasca-Gestapu (Gestok 30 September 1965) dan konflik seperti konfrontasi dengan Malaysia. Ketika Soeharto mengambil alih kekuasaan pada 1966-1967, ia mewarisi negara dengan ekonomi yang lumpuh dan masyarakat yang terpolarisasi.
Orde Baru memperkenalkan pendekatan pembangunan yang berfokus pada stabilitas ekonomi dan politik. Dengan bantuan tim ekonom terlatih Barat (dikenal sebagai “Berkeley Mafia”), pemerintah meluncurkan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) pertama pada 1969, yang menitikberatkan pada pertanian, infrastruktur, dan industrialisasi. Dua oil boom pada 1973/1974 dan 1978/1979, akibat kenaikan harga minyak global, meningkatkan pendapatan ekspor dan memungkinkan investasi besar dalam pembangunan. Pada 1970-an, angka kemiskinan absolut turun dari sekitar 50% pada 1960-an menjadi 11% pada 1996, meskipun kemajuan ini tidak merata.
Namun, gaya pemerintahan otoriter Orde Baru, yang didukung militer, menciptakan ketegangan sosial. Kebijakan seperti pembatasan kebebasan pers, pemberangusan serikat buruh, dan sentralisasi kekuasaan mengurangi partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan, memperburuk masalah sosial seperti ketimpangan dan ketidakadilan.
Karakteristik Sosial pada 1970-an 
Indonesia pada 1970-an adalah masyarakat agraris dengan populasi sekitar 119 juta jiwa (Sensus 1971), di mana mayoritas penduduk tinggal di pedesaan dan bergantung pada pertanian. Urbanisasi mulai meningkat, terutama di Jawa, seiring industrialisasi dan pembangunan kota. Pendidikan mengalami kemajuan melalui program SD Inpres (Sekolah Dasar Instruksi Presiden) yang membangun lebih dari 61.000 sekolah dasar, meningkatkan akses pendidikan bagi anak-anak pedesaan. Namun, pendidikan menengah dan tinggi tetap terbatas, membatasi mobilitas sosial.
Masyarakat Indonesia juga sangat beragam, dengan ratusan suku, agama, dan budaya. Orde Baru mempromosikan ideologi Pancasila untuk menyatukan keragaman ini, tetapi kebijakan seperti diskriminasi terhadap etnis Tionghoa dan penekanan terhadap gerakan politik berbasis agama atau ideologi kiri menciptakan ketegangan sosial.
Masalah Sosial Utama di Indonesia pada 1970-an 
Berikut adalah analisis mendalam tentang masalah sosial yang menonjol di Indonesia selama dekade 1970-an, beserta faktor penyebab dan dampaknya:
1. Kemiskinan dan Kesenjangan Ekonomi
Konteks dan Faktor Penyebab: Meskipun Orde Baru berhasil menurunkan kemiskinan absolut, kemiskinan tetap menjadi masalah sosial utama pada 1970-an, terutama di pedesaan. Kemiskinan struktural, ditandai dengan kurangnya akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja, memengaruhi jutaan orang. Faktor penyebab meliputi:
-
Ketergantungan pada Ekonomi Agraris: Mayoritas penduduk bekerja sebagai petani dengan produktivitas rendah, terutama di luar Jawa, di mana infrastruktur irigasi dan teknologi pertanian terbatas.
-
Urbanisasi yang Tidak Terkendali: Migrasi dari desa ke kota, seperti Jakarta, menyebabkan kemiskinan perkotaan, dengan munculnya permukiman kumuh dan pekerjaan informal.
-
Ketimpangan Distribusi Kekayaan: Pendapatan dari oil boom dan investasi asing terkonsentrasi di tangan elit politik dan bisnis yang dekat dengan Soeharto, memperlebar kesenjangan sosial. Laporan OXFAM (2017) mencatat bahwa ketimpangan sosial di era Orde Baru berakar pada penguasaan sumber daya oleh aliansi elit bisnis-politik.
Dampak:
-
Kriminalitas: Kemiskinan mendorong peningkatan tindak kriminal seperti pencurian dan perampokan, terutama di kota-kota besar.
-
Kesehatan dan Pendidikan: Kurangnya akses terhadap layanan kesehatan dan pendidikan memperburuk kesejahteraan masyarakat miskin, dengan tingkat malnutrisi dan putus sekolah yang tinggi.
-
Kesenjangan Regional: Pulau Jawa, khususnya Jakarta, menerima investasi lebih besar dibandingkan wilayah timur Indonesia, seperti Maluku atau Papua, yang memperdalam disparitas regional.
Respons Pemerintah: Pemerintah meluncurkan program seperti Revolusi Hijau untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan Bimas/Inmas (Bimbingan Massal/Intensifikasi Massal) untuk memperkenalkan teknologi pertanian modern. Program Keluarga Berencana (KB), yang dimulai pada akhir 1970-an, bertujuan mengendalikan pertumbuhan penduduk untuk mengurangi tekanan pada sumber daya. Namun, program ini sering kali bersifat top-down dan kurang melibatkan masyarakat lokal, sehingga efektivitasnya terbatas di beberapa daerah.
2. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) 
Konteks dan Faktor Penyebab: Korupsi menjadi masalah sosial yang kronis pada 1970-an, terkait erat dengan karakter otoriter Orde Baru. Faktor penyebab meliputi:
-
Sistem Patronase: Soeharto membangun loyalitas melalui distribusi kekayaan dan peluang bisnis kepada kroni, termasuk keluarga dan militer. Contohnya, kasus kebangkrutan Pertamina pada 1974 di bawah Ibnu Sutowo meninggalkan utang sebesar US$15 miliar akibat penyalahgunaan dana.
-
Kurangnya Transparansi: Sentralisasi kekuasaan dan lemahnya pengawasan hukum memungkinkan praktik korupsi berkembang tanpa hambatan.
-
Nepotisme: Anak-anak Soeharto, seperti Tommy Soeharto, menjadi konglomerat melalui monopoli, seperti perdagangan cengkeh, yang merugikan petani.
Dampak:
-
Ketidakpercayaan Publik: Korupsi merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, terutama ketika hukuman bagi pelaku korupsi dianggap tidak adil (“hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah”).
-
Ketimpangan Sosial: Kekayaan terkonsentrasi di kalangan elit, dengan 1% penduduk terkaya menguasai hampir 50% kekayaan nasional pada 1970-an.
-
Hambatan Pembangunan: Dana yang seharusnya digunakan untuk infrastruktur atau kesejahteraan masyarakat sering disalahgunakan, memperburuk kemiskinan dan kesenjangan.
Respons Pemerintah: Pemerintah membentuk badan seperti Operasi Tertib (Opstib) untuk menangani korupsi, tetapi upaya ini sering kali bersifat kosmetik dan tidak menyentuh akar masalah. Hukuman bagi pelaku korupsi besar jarang ditegakkan, memperkuat persepsi ketidakadilan hukum.
3. Penindasan Kebebasan dan Hak Asasi Manusia
Konteks dan Faktor Penyebab: Rezim Orde Baru bersifat otoriter, dengan militer memainkan peran dominan dalam politik dan kehidupan sosial. Faktor penyebab meliputi:
-
Pemberangusan Oposisi: Gerakan buruh, mahasiswa, dan pers dibatasi melalui kebijakan seperti NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan) dan pemberangusan serikat buruh independen, seperti pendirian SOKSI (Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia) oleh militer.
-
Kebijakan Represif: Operasi militer, seperti di Kalimantan Barat (1967–1970) untuk menumpas sisa-sisa gerakan komunis, sering kali melanggar HAM dan menyebabkan korban sipil.
-
Kontrol Media: Pers dibatasi melalui sensor dan penutupan media yang kritis, seperti surat kabar yang menentang kebijakan pemerintah.
Dampak:
-
Keresahan Sosial: Pembatasan kebebasan memicu ketegangan, terutama di kalangan mahasiswa, yang memprotes melalui demonstrasi seperti Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) 1974, menentang investasi asing dan korupsi.
-
Keterbatasan Partisipasi: Masyarakat kehilangan ruang untuk menyuarakan aspirasi, memperkuat persepsi bahwa kekuasaan hanya dimiliki elit.
-
Trauma Kolektif: Kekerasan pasca-1965 dan operasi militer meninggalkan trauma di kalangan masyarakat, terutama di daerah konflik.
Respons Pemerintah: Pemerintah merespons protes dengan penahanan aktivis dan penguatan kontrol militer. Namun, gerakan mahasiswa tetap menjadi kekuatan moral yang mendorong perubahan sosial, meskipun terbatas oleh represi.
4. Diskriminasi Etnis, Khususnya terhadap Etnis Tionghoa
Konteks dan Faktor Penyebab: Etnis Tionghoa, yang merupakan sekitar 3-5% populasi Indonesia, menghadapi diskriminasi sistematis pada 1970-an. Faktor penyebab meliputi:
-
Kebijakan Asimilasi: Orde Baru memberlakukan aturan seperti larangan penggunaan nama Tionghoa, penutupan sekolah Tionghoa, dan pembatasan budaya Tionghoa untuk memaksa asimilasi ke dalam budaya “pribumi.”
-
Stereotip Ekonomi: Etnis Tionghoa sering dianggap mendominasi ekonomi, meskipun hanya segelintir yang menjadi konglomerat melalui hubungan dengan Soeharto, seperti Liem Sioe Liong (Sudono Salim).
-
Warisan Sejarah: Ketegangan anti-Tionghoa berakar dari era kolonial dan diperparah oleh sentimen anti-komunis pasca-1965, yang mengaitkan etnis Tionghoa dengan PKI.
Dampak:
-
Kesenjangan Sosial: Diskriminasi memperdalam jurang antara etnis Tionghoa dan pribumi, dengan stereotip yang memicu ketegangan sosial.
-
Keresahan Komunal: Ketegangan kadang-kadang memuncak dalam kerusuhan, meskipun skala besar seperti pada 1998 belum terjadi pada 1970-an.
-
Emigrasi: Banyak etnis Tionghoa yang mampu memilih untuk meninggalkan Indonesia, menyebabkan kehilangan modal dan talenta.
Respons Pemerintah: Pemerintah tidak secara aktif mengatasi diskriminasi, melainkan mempertahankan kebijakan asimilasi yang memperburuk ketegangan. Beberapa konglomerat Tionghoa justru mendapat perlindungan melalui kedekatan dengan rezim, memperkuat persepsi ketimpangan.
5. Ketegangan Agraria dan Konflik Lahan
Konteks dan Faktor Penyebab: Konflik lahan meningkat pada 1970-an seiring ekspansi perkebunan dan proyek pembangunan. Faktor penyebab meliputi:
-
Kebijakan Pembangunan: Proyek seperti transmigrasi dan pembangunan bendungan atau kawasan industri sering kali menggusur petani tanpa kompensasi memadai.
-
Ketimpangan Kepemilikan Tanah: Laporan OXFAM mencatat bahwa ketimpangan kepemilikan tanah menjadi salah satu akar ketimpangan sosial, dengan elit menguasai lahan produktif.
-
Revolusi Hijau: Meskipun meningkatkan produksi pangan, Revolusi Hijau menguntungkan petani besar dan memperburuk posisi petani kecil yang tidak mampu membeli input seperti pupuk.
Dampak:
-
Penggusuran dan Kemiskinan: Ribuan petani kehilangan lahan, mendorong migrasi ke kota dan memperburuk kemiskinan perkotaan.
-
Konflik Sosial: Ketegangan antara petani dan perusahaan atau pemerintah sering memicu protes, meskipun banyak yang ditekan oleh militer.
-
Degradasi Lingkungan: Ekspansi perkebunan menyebabkan deforestasi dan kerusakan ekosistem, memengaruhi mata pencaharian petani.
Respons Pemerintah: Program transmigrasi dimaksudkan untuk mengurangi tekanan lahan di Jawa dengan memindahkan penduduk ke pulau lain, tetapi sering kali gagal karena kurangnya infrastruktur dan konflik dengan penduduk lokal. Reformasi agraria yang dijanjikan tidak terwujud secara signifikan.
6. Pengangguran dan Keterbatasan Pendidikan
Konteks dan Faktor Penyebab: Pengangguran tetap menjadi masalah, meskipun ekonomi tumbuh pesat. Faktor penyebab meliputi:
-
Keterbatasan Pendidikan: Meskipun SD Inpres meningkatkan akses pendidikan dasar, sekolah menengah dan tinggi terbatas, menghambat daya saing tenaga kerja.
-
Struktur Ekonomi: Industrialisasi masih terbatas pada sektor tertentu, seperti tekstil dan makanan, sehingga lapangan kerja formal tidak cukup menyerap angkatan kerja.
-
Persaingan SDM: Tenaga kerja Indonesia kalah bersaing dengan pekerja asing di sektor-sektor tertentu, seperti konstruksi proyek besar.
Dampak:
-
Kemiskinan dan Kriminalitas: Pengangguran mendorong kemiskinan dan tindak kriminal, terutama di kalangan pemuda.
-
Kesenjangan Sosial: Kurangnya akses pendidikan tinggi memperlebar jurang antara kelas menengah terdidik dan masyarakat miskin.
-
Frustrasi Sosial: Pemuda yang tidak mendapatkan pekerjaan sering kali bergabung dalam protes mahasiswa atau gerakan bawah tanah.
Respons Pemerintah: Pemerintah memperluas pelatihan kerja dan mendirikan industri substitusi impor untuk menciptakan lapangan kerja. Namun, fokus pada proyek besar sering kali mengabaikan kebutuhan tenaga kerja lokal yang kurang terampil.
Relevansi dan Dampak Jangka Panjang
Masalah sosial pada 1970-an memiliki dampak jangka panjang yang membentuk Indonesia modern:
-
Ketimpangan Sosial: Fondasi ketimpangan yang diletakkan pada 1970-an memuncak pada Krisis Keuangan Asia 1997-1998, yang memicu kerusuhan dan reformasi politik.
-
Krisis Kepercayaan: Korupsi dan penindasan kebebasan melemahkan legitimasi Orde Baru, mendorong gerakan reformasi pada 1998.
-
Perubahan Sosial: Program seperti KB dan SD Inpres meletakkan dasar untuk perubahan demografis dan peningkatan literasi, meskipun tidak merata.
-
Konflik Etnis: Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa berlanjut hingga era Reformasi, memicu kerusuhan besar pada 1998.
Respons Masyarakat dan Gerakan Sosial
Meskipun represi ketat, masyarakat menunjukkan ketahanan melalui berbagai bentuk perlawanan:
-
Gerakan Mahasiswa: Demonstrasi Malari 1974 menjadi simbol perlawanan terhadap korupsi dan dominasi asing, meskipun diakhiri dengan penahanan aktivis.
-
Organisasi Keagamaan: Gerakan seperti Muhammadiyah memperjuangkan reformasi sosial dan pendidikan, memberikan alternatif bagi pembangunan yang berfokus pada ekonomi.
-
Seni dan Budaya: Seniman seperti grup musik Efek Rumah Kaca (meskipun aktif di era berikutnya) mewarisi semangat menyuarakan masalah sosial melalui seni, yang mulai muncul pada 1970-an melalui puisi dan teater.
Kritik terhadap Pendekatan Orde Baru
Pendekatan Orde Baru dalam menangani masalah sosial sering dikritik karena:
-
Fokus Ekonomi: Pembangunan terlalu menekankan pertumbuhan ekonomi, mengabaikan dimensi sosial dan budaya.
-
Otoritarianisme: Penindasan kebebasan menghambat partisipasi masyarakat dalam mencari solusi.
-
Ketimpangan: Manfaat pembangunan tidak merata, dengan elit dan wilayah tertentu mendapat porsi lebih besar.
Kesimpulan
Dekade 1970-an adalah periode kontradiksi di Indonesia: di satu sisi, Orde Baru membawa kemajuan ekonomi dan stabilitas; di sisi lain, masalah sosial seperti kemiskinan, korupsi, penindasan kebebasan, diskriminasi etnis, ketegangan agraria, dan pengangguran mencerminkan kegagalan sistem dalam memenuhi kebutuhan masyarakat secara adil. Masalah-masalah ini berakar dari kebijakan otoriter, distribusi kekayaan yang tidak merata, dan pendekatan pembangunan yang terlalu sentralistik. Meskipun program seperti SD Inpres dan Keluarga Berencana menunjukkan upaya perbaikan, dampaknya terbatas oleh kurangnya partisipasi masyarakat dan korupsi sistemik.
Masalah sosial pada 1970-an tidak hanya membentuk dinamika sosial pada masa itu, tetapi juga meletakkan fondasi untuk tantangan di era berikutnya, termasuk Krisis Keuangan Asia dan Reformasi 1998. Dengan memahami konteks historis ini, kita dapat mengambil pelajaran tentang pentingnya pembangunan yang inklusif, transparan, dan berbasis keadilan sosial untuk mencegah masalah serupa di masa depan.
Sumber:
BACA JUGA: Kemajuan Teknologi di Jepang Saat Ini: Perkembangan Yang Sangat Mendalam
BACA JUGA: Perjalanan dan Sejarah Loudi: Idol K-Pop Pertama dari Indonesia
BACA JUGA: Perjalanan Karir Cristiano Ronaldo: Legenda Sepak Bola Dunia Dan Dalam Dunia Selebriti